jpnn.com - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mengusulkan sejumlah isu penting terkait revisi regulasi penyairan. Itu penting supaya sinergi pelaku industri penyiaran dan pemerintah terjalin dengan baik.
Yang terpenting, undang-undang penyiaran dapat memacu industri tumbuh secara positif. ”Sinergi itu sangat krusial supaya melahirkan undang-undang penyiaran yang sehat dan membangun, tidak mengebiri apalagi membatasi tumbuh kembang industri penyiaran,” tutur Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ishadi SK, di Jakarta, Kamis (4/5).
BACA JUGA: Inilah Suara Para Pentolan Televisi Swasta Indonesia di Forum Wartawan Sedunia
Saat ini, pemerintah dan DPR tengah membahas perubahan Undang-Undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Pembahasan draft RUU penyiaran sudah berada di tangan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Pihak ATVSI telah diundang untuk memberi tanggapan dan masukan mengenai isu penting sebagai ruh RUU penyiaran.
BACA JUGA: Misbakhun: RUU Penyiaran Harus Angkat Penerimaan Negara
”Kami telah menyampaikan nafkah akademik dan darft RUU kepada Baleg dan panitia kerja (Panja) RUU penyiaran DPR,” imbuh Ishadi.
Menurut Ishadi, terdapat 7 isu penting yang telah diajukan ATVSI. Tujuh poin krusial itu mulai dari rencana strategis dan blue print digital, pembentukan wadah dan keterlibatan asosiasi dalam perizinan dan kebijakan penyiaran digital termasuk pembentukan badan migrasi digital bersifat ad hoc.
”Jangan sampai pelaku industri tidak dilibatkan dalam pembentukan undang-undang tersebut,” ingat Ishadi.
Poin selanjutnya yaitu penerapan sistem hybrid merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran. Kemudian, durasi iklan komersial dan iklan layanan masyarakat.
Poin penting lainnya, pembatasan iklan rokok. Siaran lokal dan proses pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
”Secara teknis iklan rokok kan boleh tayang jam 22.00 hingga pukul 06.00. Itu juga tidak boleh menampilkan bentuk rokok,” terangnya.
Karenanya sambung Ishadi, mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran, indonesia butuh perencanaan strategis.
Rencana strategis itu setidaknya mencakup ketersediaan spektrum frekuensi, penggunaan alokasi frekuensi dan wilayah siar, pengembangan dan pemanfaatan teknologi digital, migrasi digital, potensi perkembangan media penyiaran, pembangunan serana dan prasarana penyiaran, pembangunan sumber daya, termasuk pemerataan informasi kepada masyarakat.
”Penyiaran digital diselenggarakan sejumlah penyelenggara penyiaran multipleksing memerlukan penerapan sistem hybrid sebagai bentuk nyata demokratisasi penyiaran,” tegas Ishadi.
RUU penyiaran harus visioner. Dapat mengantisipasi perkembangan teknologi dan memenuhi keinginan masyarakat akan kebutuhan konten penyiaran berkualitas.
Karena itu, penyusunan regulasi penyiaran harus melibatkan pemangku kepentingan meliputi pelaku industri penyiaran, regulator dan industri terkait.
”Aneh dan ajaib kalau undang-undang penyiaran ketinggalan zaman. Minimal selaran perkembangan dalam tempo 10 tahun,” imbuh Sekjend ATVSI, Suryo Pratomo. (far)
Redaktur & Reporter : Adil