Industri Shipyard di Batam Terpuruk, Ibarat Pepatah, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Kamis, 20 Juli 2017 – 11:54 WIB
Pekerja sedang menggesa pengerjaan kapal di Seilekop, Sagulung, Jumat (28/4). Industri galangan kapal di Batam sejak tahun lalu lesu menyusul perekonomian global yang lesu akibat anjloknya harga minyak dunia. F. Dalil Harahap/Batam Pos/jpg

jpnn.com, BATAM - Industri shipyard di Kota Batam, Kepulauan Riau, belum juga menunjukkan tanda-tanda perkembangan positif pascalebaran.

"Kondisi sekarang masih belum pulih. Order yang lama juga sudah pada habis," ungkap Sekretaris Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA), Suri Teo kepada Batam Pos (Jawa Pos Group), Rabu (19/7).

BACA JUGA: Inilah Daftar Kota dengan Biaya Hidup Tertinggi

Jika ada shipyard yang memperoleh order saat ini seperti yang pernah disampaikan oleh Kepala Disnaker Batam, Rudi Sakyakirti, maka realisasinya membutuhkan waktu yang lama. Karena pelanggan harus merancang desain kapal yang ingin dibuat terlebih dahulu dan itu butuh proses yang lama.

"Belum ada pesanan sama sekali. Sektor galangan kapal memang terpengaruh sekali dengan kondisi ekonomi global," ungkapnya.

BACA JUGA: Industri Wajib Laporkan Hasil Produksi

Kelesuan shipyard juga sangat berhubungan dengan industri pelayaran yang juga tengah goyang. Karena pelayaran yang memasarkan jasa pembuatan dan perbaikan kapal kepada konsumen di dalam maupun di luar negeri.

"Perusahaan pelayaran itu satu lingkaran dengan kita. Jika pelayaran kekurangan order logistik dari perusahaan migas, maka kita pengaruh juga," ujarnya.

BACA JUGA: Dua Pengusaha Batam Penunggak Pajak Terancam Disandera KKP

Dia meminta kepada pemerintah khususnya Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk memikirkan cara bagaimana membantu galangan kapal di Batam untuk bisa bertahan hidup.

Salah satu sarannya adalah BP Batam diminta untuk mendatangkan investor dari galangan kapal luar negeri atau sektor industri lainnya untuk bisa menyewa lahan tepi pantai milik shipyard di Batam.

"Makin banyak investor benar-benar akan bantu kondisi saat ini," ujarnya.

Sedangkan untuk polemik UMK sektor galangan kapal yang diprotes pengusaha galangan kapal, ia mengatakan belum tahu langkah apa yang harus diambil."UMK itu belum tahu juga," ujarnya.

Kondisi shipyard saat ini memang mengkhawatirkan. Direktur Small Medium Enterprise, Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Batam, Irfan Widyasa memiliki analisa terkait hal ini.

"Sepinya industri galangan kapal di Batam dalam kurun lima tahun belakangan ini membuat banyak pekerja galangan kapal menganggur dan pilih pulang kampung," jelasnya.

Imbasnya sangat berpengaruh besar terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi Batam dan Kepri."Batam adalah pusatnya industri perkapalan di Indonesia, namun sayangnya tengah lesu," ungkapnya.

Dia kemudian memaparkan ada lima penyebab lesunya galangan kapal di Batam. Pertama harga minya mentah dunia yang tengah terpuruk.

Ketika harga minyak jatuh, maka berpengaruh pada industri galangan kapal dan pelayaran. Penyebabnya adalah banyaknya sumur minyak dunia yang berlokasi di lepas pantai (offshore,red) membutuhkan pengangkutan menggunakan kapal.

"Penurunan permintaan pengangkutan minyak menurunkan permintaan kapal jenis tanker," ungkapnya lagi.

Setelah harga minyak jatuh, maka isu berikutnya adalah turunnya permintaan batubara dunia.

"Turunnya industri di negara-negara pengonsumsi batu bara seperti China dan India serta adanya pembatasan bahan bakar fosil karena dituding sebabkan polusi di Amerika mengakibatkan turunnya pemesanan kapal," jelasnya.

Imbasnya lebih lanjut, pemesanan kapal pengangkut batubara seperti kapal jenis tongkang dan tugboat yang umumnya diproduksi di Batam mulai turun drastis.

"Ditambah lagi turunnya harga komoditas batubara yang tahun 2013 masih sekitar 100 dolar Amerika menjadi 41,36 dolar Amerika di tahun 2016 sangat berpengaruh," ungkapnya.

Selanjutnya ketika harga minyak dan batubara jatuh, pemerintah pusat malah mengeluarkan kebijakan kontroversial yakni larangan ekspor mineral logam mentah yang hadir dalam Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada tahun 2014.

Dengan demikian setelah dua pintu macet, maka pemerintah pusat malah menutup pintu alternatif lainnya.

"UU tersebut melarang perusahaan tambang mengekspor barang mentah tanpa mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang jadi atau setengah jadi di Indonesia," jelasnya.

Tujuan dari UU Minerba sebenarnya baik yakni melindungi sekaligus memperkuat industri dalam negeri. Tapi sayangnya kebijakan ini menjadi pisau bermata dua karena merugikan industri galangan kapal.

"Baik tujuannya yakni supaya barang mendapat nilai tambah sehingga devisa negara lebih besar," imbuhnya.

Jika kebijakan UU Minerba diikuti dengan pembangunan smelter yang berfungsi untuk mengolah barang mentah menjadi barang jadi, maka kebijakan ini sangat menguntungkan.

Namun kenyataannya, pemerintah tak kunjung merealisasikan pembangunan smelter yang dulu rencananya akan dibangun di Bintan.

"UU ini jadi senjata makan tuan. Dampak UU Minerba terhadap kinerja ekspor bisa dilihat pada ekspor bijih, kerak dan abu logam yang mengalami penurunan sebesar 685,2 juta Dolar atau turun 70,13 berdasarkan data BPS," paparnya.

Hal ini tentu saja menurunkan permintaan kapal jenis tongkang dan tugboat pengangkut mineral mentah.

Kemudian shipyard di Batam juga dihadapkan pada pilihan terbatas dalam membuat kapal. Karena mereka hanya bergantung dari pesanan kapal.

Sebenarnya shipyard di Batam sudah bisa memproduksi berbagai jenis kapal seperti kapal kargo, tanker, SPB, kapal pandu, hopper, alumunium, roro, crane berge dan kapal canggih seperti landing craft tank, landing craft utility amphibious.

"Namun yang paling banyak diproduksi di Batam adalah kapal tongkang dan tugboat untuk mengangkut mineral batubara dan tangker pengangkut minyak," ujarnya.

Dan terakhir yakni demo dan upah buruh yang tidak kompetitif. Masalah perburuhan di Batam sering ditandai dengan maraknya demo menuntut kenaikan gaji di depan kantor-kantor pemerintahan.

Padahal upah buruh di Batam cukup besar dibanding dengan kawasan industri negara lainnya seperti di Vietnam.

"Berdasarkan SK Gub Kepri Nomor 2443/2016, UMS galangan kapal sebesar Rp 3.241.125. Sedangkan di Vietnam hanya Rp 1.509.361," tegasnya.

Jadi ambruknya harga minyak mentah dan batubara dunia serta larangan ekspor minerba mentah benar-benar membuat industri galangan kapal di Batam terpuruk.

"Ditambah masalah perburuhan dan upah serta kelesuan ekonomi global, sudah jatuh tertimpa tangga pula," katanya.(leo)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Alamak, Dua Pekan Setelah Lebaran Pasangan Banyak yang Daftar Pengin Cerai


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler