Ingat, Tarif Interkoneksi tak Tepat Picu Iklim Usaha Tidak Sehat

Jumat, 24 Juni 2016 – 00:09 WIB
Agus Pambagyo. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi mendapat sorotan. Pemerintah diungatkan bahwa kebijakan penurunan tarif interkoneksi yang tidak tepat dinilai bisa memicu praktek monopoli terutama di luar Pulau Jawa. 

Kondisi tersebut akan merugikan konsumen sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

BACA JUGA: Rusun Murah, Fasilitas tak Kalah Dengan Apartemen

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo mengatakan, jika kebijakan pemerintah tidak tepat, monopoli di luar Pulau Jawa terjadi, maka yang paling dirugikan atas tindakan operator itu adalah konsumen. 

Memang, operator itu memiliki keunggulan jangkauan terluas di Tanah Air, dengan jaringan yang menumpang pada induk usahanya. 

BACA JUGA: Jokowi Instruksikan 11 Kewenangan Pangan Bulog, Keppresnya Hanya Segini

Namun kondisi tersebut malah dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan tinggi dari masyarakat Indonesia. "KPPU harus buat fatwa karena betul konsumen tidak punya pilihan," ujarnya kemarin (23/6).

Diketahui, ada perbandingan harga yang menggambarkan betapa mahalnya tarif telepon Telkomsel. Misalnya di Papua, operator itu mengambil keuntungan berkali-kali lipat dibandingkan pesaingnya, Indosat Ooredoo. Rinciannya, pelanggan dikenai biaya Rp 1000/60 detik ketika menelpon sesama pelanggan Telkomsel.

BACA JUGA: Beginilah Empat Cara Pusat Dongkrak Industri Shipyard Indonesia

Kondisi ini berbeda jauh dengan Indosat yang hanya mengganjar pelanggan dengan tarif Rp 1/detik untuk menelpon sesama pengguna Indosat. 

Tak hanya itu, di Pulau Jawa sendiri, perbandingan harga antar dua operator telekomunikasi ini terlampau jauh. Indosat mematok harga Rp 1000/menit menelepon ke semua operator, sementara Telkomsel mengenakan Rp 508 – 1.435/30 detik dengan layanan serupa.

Banyak pihak menyingkirkan kenyataan ini dengan dalih nasionalisme, bahwa Telkomsel adalah perusahaan pelat merah. Namun dijelaskan Agus, penilaian ini tak didasari penyelidikan lebih jauh. 

Pasalnya, ada saham di perusahaan itu yang dimiliki oleh pemodal asing. "Kalau soal nasionalisme, Telkomsel 30% lebih juga ada asingnya," katanya.

Solusinya, regulator telekomunikasi diminta menyikapi serius mengenai hal ini. Terlebih menurut data, dominasi Telkomsel mencapai 80% di pasar, yang bisa diartikan sebagai praktek monopoli karena menerabas ketentuan Undang-Undang Persaingan Usaha, yakni hanya sebesar 50%. Dengan kondisi demikian, operator lain akan tetap ditekan dan tidak bisa berkembang.

Padahal, tujuan akhir dari penyediaan jasa adalah keuntungan konsumen. Dengan persaingan sehat dan pengawasan ketat pemerintah, tujuan itu bisa dicapai. "Dari dulu saya sudah ingatkan kemungkinan adanya dominasi operator, tapi pemerintah tak kunjung ada action konkrit," pungkas Agus.

Sejumlah pengamat dan penggiat telekomunikasi juga menilai penurunan tarif interkoneksi secara signifikan akan mencegah potensi monopoli terutama di luar Pulau Jawa.

Soalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif berpotensi menjadi tak wajar.

Penilaian tersebut disampaikan oleh Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, saat ditanyai terkait rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi. 

"Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujarnya.

Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing," paparnya.

Tarif interkoneksi merupakan komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan.

Formula perhitungan tarif interkoneksi ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.

Dikatakan Heru, pemerintah merancang regulasi itu pada 2005 dan diundang-undangkan pada 2007, sehingga mestinya direvisi kembali saat ini. Utamanya, soal penurunan tarif secara bertahap yang dinilai melestarikan praktek monopoli.

Heru menggarisbawahi sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator.

Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli. "Kompetisi tidak terjadi, nah penurunan biaya interkoneksi ini diharapkan memicu adanya kompetisi," ujar Heru.

Masyarakat cenderung memilih operator yang murah biaya telepon sesama operator. Mungkin menurut sebagian kalangan hal ini wajar saja, namun Heru menilai, adanya kecurangan berusaha. 

Pasalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator itu yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif menjadi tak wajar. Kasus seperti itu banyak ditemui di Indonesia bagian timur.

Sementara membangun infrastruktur penunjang luas jaringan tak bisa dikatakan murah. Sehingga memang tak semua operator bisa menjangkau daerah terluar Indonesia yang sedang berkembang. 

“Nah, tarif interkoneksi atau off-net yang murah antar provider bisa dijadikan solusi mengatasi kebuntuan itu,” paparnya.(rl/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Triwulan Pertama, Baru Terima Proyek Senilai 391 juta dolar AS


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler