Ini 10 Provinsi Paling Rawan Netralitas ASN, Ferry Liando Singgung Jatah Honorer

Jumat, 22 September 2023 – 07:55 WIB
Isu netralitas ASN selalu menjadi sorotan jelang pemilu. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merilis 10 provinsi yang berpotensi memiliki kerawanan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pemilu 2024.

Sepuluh besar provinsi yang berpotensi memiliki kerawanan netralitas ASN, yakni:

BACA JUGA: Menteri Anas: Ini Komitmen dan Perhatian Pemerintah untuk Honorer

1. Maluku Utara (Malut)

2. Sulawesi Utara (Sulut)

BACA JUGA: Wahai Honorer, Seleksi PPPK 2023 Superketat, 59 Ribu Formasi Guru untuk Pelamar Umum

3. Banten.

4. Sulawesi Selatan (Sulsel)

BACA JUGA: Pendaftaran CPNS 2023 & PPPK Dimulai, Guru Honorer Berijazah SMA Bisa jadi ASN, Alhamdulillah

5. Nusa Tenggara Timur (NTT)

6. Kalimantan Timur (Kaltim)

7. Jawa Barat

8. Sumatera Barat (Sumbar)

9. Gorontalo

10. Lampung.

Menanggapi data tersebut, Pakar Kepemiluan Ferry Daud Liando menilai, keterlibatan ASN pada proses pemenagan calon tertentu akan menjadi salah satu penyakit akut pada pemilu nanti.

“Padahal ASN memiliki asas netralitas yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 5/2014 tentang ASN,” kata Ferry Daud Liando dalam keterangannya kepada JPNN.com, Jumat (22/9).

Dosen Fisipol Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado itu menjelaskan, UU ASN sudah jelas melarang ASN menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.

Ferry menilai, penyebab utama ASN terlibat dalam pemenangan calon tertentu didasari oleh kepentingan karier dalam jabatan struktural pemerintahan.

Bagi ASN non-job, lanjutnya, keteribatan dalam pemenagan calon bermotif untuk mendapatkan jabatan strukturan dalam pemerintahan.

“Bagi ASN yang sedang memeiliki jabatan bermaksud agar dipromosi dalam jabatan yang lebih tinggi dan atau agar jabatannya dipertahankan,” terangnya.

Timses dapat Jatah Honorer

Ferry menyebutkan beberapa modus keberpihakan ASN pada pemenangan calon tertentu, yakni:

1. Penempatan lokasi program/proyek pada wilayah pemilihan calon yang didukung.

2. Distribusi bantuan sosial pada lokasi-lokasi tertentu yang menurut hasil survei tingkat elektabilitas calon yang didukung masih rendah.

3. Pemberian fasiltitas proyek kepada tim sukses.

4. Pemberian jatah tenaga honorer bagi kerabat-kerabat tim sukses.

5. Pengadaan dan memasang sendiri baliho calon.

6. Menawarkan diri menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan ormas atau keagamaan.

7. Membantu menyediakan konsumsi dan uang transport untuk tim sukses/tim pemenangan.

8. Merebut jabatan-jabatan keagamaan agar mudah memobilisasi anggota.

9. Menyediakan bunga-bunga ucapan pada perkawinan atau peristiwa kematian atas nama calon.

Lebih lanjut Ferry mengatakan, jika ketidaknteralan ASN tidak dicegah maka beberapa konsekwensi yang bisa terjadi, antara lain:

Pertama, menghilangkan kedaulatan rakyat akibat intervensi bahkan intimidasi ASN yang memiliki power.

“Padahal esensi utama pemilu adalah jaminan atas kedaulatan rakat. Intervensi akan mengurangi kebebasan warga negara untuk memilih.”

Kedua, pengangkatan pejabat berpotensi tidak professional karena dasar pengkatan tidak lagi memperhatikan kompetensi, tetapi karena kompensasi atau balas jasa dalam memberikan dukungan.

Ketika pejabat pemerintahan yang diangkat atas hasil kompensasi pemilu berpotensi korupsi karena berusaha mengembalikan uang yang digunakannya ketika mendukung calon tertentu.

Ketiga, berpotensi akan terjadi diskrimanisi pelayanan publik.

Masyarakta yang tidak mendukung calon yang didukung pejabat saat pemilu atau pilkada berpotensi akan mendapat perlakukan diskriminasi dalam pelayanan atau fasilitas pemerintah

Beberapa cara untuk mencegah para ASN yang tidak netral, menurut ferry, yakni:

Pertama, perlu sanksi bagi pejabat yang tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu yang menyatakan bahwa ASN tersebut terbukti tidak netral.

“Selama ini banyak kepala daerah yang tidak menindaklanjuti ASN yang dinyatakan oleh Bawaslu tidak netral. Rekomendasi Bawaslu harusnya dijadikan syarat kenaikan pangkat atau syarat promise jabatan.”

Jika terdapat rekomendasi dari Bawaslu atas adanya ketidaknetralan, kata Ferry, harusnya ASN tidak bisa dinaikkan pangkat atau di promosi pada jabatan yang lebih tinggi.

Kedua, perlu revisi terhadap UU pemilu tahun 2017 terutama terkait dengan kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang hanya menyasar penyelenggara pemilu.

Harusnya, kata Ferry Daud Liando, DKPP diberikan kewenagan terhadap dugaan etika penyelenggaraan pemilu.

“Artinya subjek kode etik bukan hanya penyelenggara akan tetapi bisa menyasar ke caleg, ASN atau aparat desa yang terbukti melanggar norma UU tentang netralitas. Dalam UU pemilu juga hanya membatasi subjek politik uang. Hanya dibatasi pada pelaksana, tim kampanye dan tim kampanye. Padahal pelakunya banyak dari ASN,” pungkas Ferry Daud Liando. (sam/jpnn)


Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler