jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membeberkan alasan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau.
Sri Mulyani mengatakan kenaikan cukai hasil tembakau tak hanya terkait penerimaan negara.
BACA JUGA: Setelah Rokok, Tarif Cukai Miras dan Anggur juga Bakal Menyusul?
Menurut dia, kerugian akibat konsumsi rokok juga merambat ke perekonomian dan keuangan negara.
"Rokok menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan," ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari laman resmi Kemenkeu.go.id, di Jakarta, Rabu (15/12).
BACA JUGA: Bea Cukai Beri Izin Operasional KIHT di Pamekasan untuk Berantas Rokok Ilegal
Berbagai riset dan kajian telah membuktikan berbagai kerugian yang timbul akibat tingginya konsumsi rokok.
Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 2019 menyebut konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19.
BACA JUGA: Kenaikan Cukai Rokok di Bawah 10% Cukup Moderat, Bahkan Bisa Lebih Rendah
Selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021.
Kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) 2021 menyebutkan biaya kesehatan akibat merokok tercatat sebesar Rp 17,9-27,7 triliun selama setahun.
"Total biaya ini, terdapat Rp 10,5 hingga Rp 15,6 triliun adalah biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan," ungkap Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyebutkan biaya tersebut setara dengan 20-30 persen dari besaran subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tahun sebesar Rp 48,8 triliun yang dikeluarkan oleh APBN.
Selain itu, pemerintah berkomitmen terus menekan konsumsi rokok, khususnya anak-anak.
Hal itu tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen pada 2024.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, 9 dari 100 anak di Indonesia masih merokok. Jumlah ini termasuk yang tertinggi di Kawasan Asia.
"Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) adalah bagian dari upaya mencapai target ini, guna mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan produktivitas SDM ke depannya," tegas SMI.
Menteri Keuangan Terbaik 2020 versi Global Markets itu menilai konsumsi rokok di kalangan anak sangat dipengaruhi oleh harga rokok.
Kebijakan CHT selama ini telah efektif menekan konsumsi rokok, tercermin dari turunnya konsumsi rokok pada 2020 sebesar 9,7 persen.
"Tahun sebelumnya seiring dengan meningkatnya indeks kemahalan rokok sebesar 12,6 persen," ucap Sri Mulyani.
Perempuan kelahiran Bandarlampug itu menjelaskan prevalensi merokok di Indonesia masih relatif tinggi, termasuk pada kelompok berusia di bawah 18 tahun.
Sri Mulyani berharap penyesuaian tarif cukai rokok dapat terus menurunkan prevalensi merokok di Indonesia.
"Selain penyesuaian tarif CHT, pemerintah juga melakukan simplifikasi tarif cukai, penyesuaian batasan Harga Jual Eceran (HJE) Minimum, dan penindakan rokok illegal," ungkap Sri Mulyani.
Selain itu, upaya mengurangi disparitas harga rokok di seluruh jenis rokok juga penting untuk meningkatkan efektivitas kebijakan CHT.
"Kebijakan CHT 2022 tersebut akan menurunkan konsumsi rokok sebesar rata-rata 3,0 persen per tahun. Kerja sama seluruh pihak juga dibutuhkan untuk menurunkan prevalensi merokok," tegas Sri Mulyani.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia