Ini Alasan YLBHI Minta Presiden Copot Jaksa Agung

Minggu, 25 Oktober 2015 – 15:30 WIB
Jaksa Agung M.Prasetyo. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Jaksa Agung HM Prasetyo. Tapi, alasannya berbeda dengan ICW dan KontraS.

Julius Ibrani dari YLBHI menuturkan, lembaganya bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi (TAKTIS), berkesimpulan bahwa Jaksa Agung sejatinya memiliki peran sentral atas kriminalisasi terhadap puluhan orang.

BACA JUGA: Rapor Merah dari KontraS untuk Jaksa Agung

YLBHI TAKTIS mencatat kriminalisasi bermula pasca penetapan Komjen BG (Budi Gunawan) sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada 13 Januari 2015, ada 49 orang diperiksa, ditangkap, ditahan, ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, sebagai urutan peristiwa yang saling terkait dan terstruktur.

"Kriminalisasi dilakukan terhadap lembaga KPK, Komisi Yudisial, Komnas HAM para Dosen, Mantan Hakim Agung serta pegiat/aktivis antikorupsi, secepat kilat setelah ke-49 orang tersebut merespon, mengkritik, dan menyoroti penetapan Komjen BG sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi," kata Julian di kantor ICW, Minggu (25/10).

BACA JUGA: Kinerja Jeblok, Jaksa Agung Harus Diganti

Sebut saja, nama-nama seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Denny Indrayana, Tempo (media massa), Suparman Marzuki, Taufiqqurohman Syahuri, Direktur bidang KPK, dll. Dalam posisinya, Jaksa Agung bersama jajarannya memiliki peran signifikan untuk "mengendalikan" perkara sejak awal pemeriksaan oleh kepolisian.

Pertama, kewenangan "penuntutan" dikaitkan dengan peran Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), harus didefinisikan sebagai Dominus Litis (procuruer die de procesvoering vastselat), yaitu pengendalian proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan.

BACA JUGA: IPW: Ada Apa di Balik Kasus Risma?

Kedua, Pasal 11 Guidelines on the role of Prosecutors yang juga diadopsi oleh Eight United Nation Congress on The Prevention of Crime dalam Kongres Pencegahan Kejahatan ke-8 di Havana pada tahun 1990, di mana Republik Indonesia telah menjadi bagian dalam kongres tersebut. Yang menyatakan bahwa, "jaksa harus melakukan peran aktif dalam proses penanganan perkara pidana termasuk melakukan penuntutan jika diijinkan oleh hukum setempat, berperan aktif dalam penyidikan, pengawasan terhadap keabsahan penyidikan tersebut, mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan dan menjalankan fungsi lain sebagai wakil kepentingan umum".

Ketiga, KUHAP sudah mengatur peran signifikan Kejaksaan sejak awal pemeriksaan. Pasal 109 ayat (1) KUHAP, menyatakan bahwa, "Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum."

Koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum dalam tahap penyidikan dimulai dengan adanya pemberitahuan telah dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum yang ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada penuntut umum.

"Secara otomatis penuntut umum mempunyai suatu kewenangan untuk dapat melakukan penelitian atas jalannya penyidikan, untuk mengetahui secara detil seluk beluk pemeriksaan perkara," jelas Julius.

Keempat, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa setelah P-19 , Penuntut umum dalam rangka melakukan penentuan sikap atas suatu berkas perkara sebenarnya mempunyai wewenang untuk melakukan suatu pemeriksan tambahan atas hasil penyidikan.

Tujuan dari adanya pemeriksaan tambahan ialah agar memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik telah dilakukan sesuai hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikkan di persidangan.

Sebagaimana diketahui publik, lanjut Julius, untuk kasus Bambang Widjojanto, per 19 September 2015 telah dilakukan penyerahan tahap 2 dari P-21 kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, dan kasus Abraham Samad, pada 22 September 2015 diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, tanpa ada proses apapun yang lebih detil atau lanjut dari kejaksaan.

Padahal, kewenangan kejaksaan sangat besar dan signifikan, sejak awal pemeriksaan perkara meskipun tidak dapat memutuskan, namun dapat langsung menyatakan sikap tegas setelah masuk dalam kewenangannya untuk memutuskan. Misalnya, dalam tahap P-19 untuk mengembalikan berkas hingga masa SPDP harus dikembalikan, atau menyatakan P-21 lalu seketika memutuskan SKPP dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP.

"Pada kesimpulan kami, Jaksa Agung yang membawahi Kejagung dalam kasus-kasus kriminalisasi terhadap terhadap lembaga KPK, Komisi Yudisial, Komnas HAM para Dosen, Mantan Hakim Agung serta pegiat/aktivis antikorupsi, telah lalai menjalankan perannya dan justru jelas terlihat memberikan legitimasi atas kriminalisasi," pungkas Julius. (fat/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Asap Mulai Masuk Pulau Jawa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler