jpnn.com - SURABAYA – Pemerintah tak henti-hentinya memperluas pasar rumah bersubsidi. Selama ini, rumah sejahtera tapak memang masih terbatas. Rumah itu hanya bisa dimiliki warga yang berpenghasilan maksimal Rp 3,5 juta per bulan.
Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Maurin Sitorus mengatakan, pihaknya sedang merancang program bantuan pembiayaan berbasis tabungan. Program itu diluncurkan untuk menangkal kredit bermasalah (non-performing loan) perbankan.
BACA JUGA: Wow, Wonderful Indonesia Mejeng di Digital Board La Liga
Program tersebut berbeda dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dan program tabungan perumahan rakyat (tapera). Dengan FLPP, bunga kredit dipatok lima persen per tahun.
Sedangkan melalui skema tapera, perusahaan pemberi kerja menyetor uang tabungan yang bisa dimanfaatkan pekerjanya.
BACA JUGA: Pembangunan Pabrik Semen Seharusnya Tidak di Jawa
Dengan pembiayaan berbasis tabungan, masyarakat diwajibkan menabung lima persen dari harga rumah. Pemerintah akan memberikan bantuan 25 persen. Dengan demikian, terkumpul 30 persen.
’’Kewajiban pembayaran 70 persen sisanya masuk dalam kredit perbankan dengan rate komersial,’’ ujar Maurin di sela rapat kerja daerah REI Jatim di Hotel Shangri-La, Surabaya, kemarin (31/8).
BACA JUGA: Wonderful Indonesia Boyong Dua Penghargaan di Xian
Program tersebut tidak hanya berlaku bagi rumah baru. Namun juga bisa untuk membeli rumah bekas. Harga rumah juga berada di atas patokan harga rumah subsidi FLPP, yakni Rp 150 juta hingga Rp 200 juta.
’’Dengan pertimbangan rumah yang dibeli dekat dengan pusat kota,’’ jelasnya.
Market yang ingin disasar pemerintah dengan program pembiayaan berbasis tabungan adalah masyarakat yang bergerak di sektor informal. Segmen itu memiliki daya beli, namun tidak memiliki akses ke program FLPP maupun tapera.
Padahal, pekerja informal berkontribusi sebesar 60 persen terhadap total jumlah tenaga kerja produktif. ’’Tiap tahun kebutuhan rumah 800–900 ribu unit. Ditambah 3,2 juta penduduk yang pindah dari desa ke kota tiap tahun,’’ terang Maurin.
Ketua DPP REI Eddy Hussy mengakui sektor informal di perkotaan bertumbuh pesat. Dengan pendapatan sektor informal di atas Rp 3,5 juta per bulan, mereka sulit mengakses kredit FLPP.
Karena itu, REI mengusulkan regulasi khusus mengenai pembiayaan untuk sektor informal dengan pendapatan Rp 4–8 juta per bulan. ’’Pendapatan Rp 4 juta per bulan di Surabaya dan Jakarta terbilang kecil. Karena itu, kami ingin bisa dimasukkan kategori MBR perkotaan,’’ terangnya.
Dengan perluasan akses ke sektor informal berpenghasilan lebih dari Rp 4 juta, REI mendukung target penciptaan 1 juta rumah pada tahun ini. (res/c19/noe/jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perusahan Asuransi Ikut Minati Dana Repatriasi
Redaktur : Tim Redaksi