jpnn.com, JAKARTA - Setidaknya ada dua kasus besar pekerja migran Indonesia di luar negeri yang menjadi sorotan dalam kurun waktu setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode kedua ini.
Medio 2020, Etty binti Toyib Anwar dapat bernapas lega usai dirinya dibebaskan dari ancaman hukuman mati di Arab Saudi dan dapat pulang ke tanah air setelah hampir dua dekade ia berada dalam tahanan.
BACA JUGA: Singapura Kewalahan Melawan Virus Corona di Asrama Pekerja Migran
Pada 2001 silam, pekerja migran asal Majalengka, Jawa Barat, itu didakwa membunuh majikannya, Faisal Al Ghamdi, serta dijatuhi hukuman mati--atau kisas yang berarti pembalasan setimpal dalam istilah hukum Islam.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengaku bahwa pihak Kementerian Luar Negeri RI, melalui Perwakilan RI di Luar Negeri, harus melakukan perjalanan panjang dalam memfasilitasi pembebasan tersebut.
BACA JUGA: Tentara Darat Malaysia Tangkap Pekerja Migran Indonesia, Sita Duit Rp 64 Juta
"Perwakilan RI di Riyadh dan Jeddah melakukan pendekatan kepada pihak keluarga korban dan pihak terkait lainnya sebanyak 20 kali," kata Retno ketika memaparkan data kementerian dalam pembebasan Etty, 10 Juli 2020.
Di samping itu, Kedutaan Besar dan Konsulat Jenderal di Arab Saudi juga memberikan pendampingan kekonsuleran sebanyak 43 kali, kata Retno menambahkan.
BACA JUGA: Universitas Terbuka Wisuda Pekerja Migran di Korea Selatan
Sementara di Indonesia, Kementerian menjalani pendekatan dengan keluarga Etty sebanyak sembilan kali, dan memfasilitasi pertemuan keluarga dan Etty di Arab Saudi sebanyak tiga kali.
Upaya pelindungan terhadap Etty tampak bukan main-main, diplomasi pejabat tingkat tinggi juga dilakukan oleh Indonesia. Presiden Joko Widodo dan Menlu Retno ikut turun tangan bernegosiasi dengan pihak Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
"Presiden juga telah menulis surat kepada Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud sebanyak dua kali," ujar Retno. Ia sendiri menjalankan diplomasi untuk kasus ini dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi dalam berbagai pertemuan bilateral.
Proses pembebasan Etty mencapai puncak ketika keluarga korban memberikan maaf dengan menerima diat, denda atas tindak pidana yang dilakukan, sebesar empat juta riyal atau sekitar Rp15,5 miliar.
Melalui serangkaian upaya dan proses itu, Etty akhirnya secara resmi dikembalikan kepada keluarga pada 30 Juli 2020 usai menjalani protokol kesehatan COVID-19 sejak ia tiba di tanah air pada 6 Juli 2020.
Kemenangan dalam kasus hukum pekerja migran lainnya mengemuka pada September lalu.
Ialah Parti Liyani, pekerja migran asal Ngajuk, Jawa Timur, yang menang melawan tuntutan dari eks majikannya, Liew Mun Leong, pimpinan Changi Airport Group--yang kemudian mundur dari jabatannya.
Kasus Parti berjalan selama empat tahun, hingga Maret 2019 ia diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 26 bulan penjara oleh pengadilan atas dakwaan pencurian barang-barang milik keluarga Liew senilai 34.000 dolar Singapura, setara dengan Rp371 juta.
Dengan pendampingan dari HOME, lembaga advokasi pekerja migran di negara itu, Parti mengajukan banding. Pada 4 September 2020, Pengadilan Tinggi Singapura memutuskan Parti bebas dari segala tuntutan hukum atas dirinya.
Terkait hal tersebut, Kedutaan Besar RI di Singapura mengatakan bahwa pihaknya telah dan terus akan berkoordinasi dengan Parti dan pihak HOME, serta telah memantau kasus ini sejak tahun 2016 silam.
"Kami memastikan bahwa hak-hak Parti terlindungi dan kami selalu bekerja sama dengan HOME, sebagaimana selama ini KBRI selalu bekerja sama dengan banyak lembaga swadaya masyarakat dalam penanganan kasus-kasus di Singapura," kata Kepala Fungsi Pensosbud KBRI Singapura Ratna Harjana, akhir September 2020.
Kepulangan Parti ke tanah air masih menunggu kasus hukum selesai, pasalnya ia, melalui pengacara pro bono, Anil Balchandani, balik menuntut dua jaksa yang menangani kasusnya dalam peradilan pertama atas perkara disipliner.
Pemerintah Indonesia tentu menginginkan kasus-kasus yang melibatkan pekerja migran di negara penempatan tidak lagi terulang di masa mendatang. Untuk itu, Menlu Retno berjanji melakukan upaya yang berfokus pada aspek pencegahan.
"Pencegahan ini akan semakin efektif jika sejak perekrutan (calon pekerja, red) diberikan pemahaman mengenai hukum dan aturan baku yang berlaku di negara tujuan," kata Retno.
Ia meminta diberikannya edukasi kepada calon pekerja, antara lain tiga hal: mematuhi hukum setempat, tidak melakukan langkah-langkah melawan hukum jika menghadapi suatu masalah, dan melaporkan kesulitan yang dihadapi kepada perwakilan RI.
Terkait pelaporan, Kementerian Luar Negeri telah mengembangkan platform digital Safe Travel sebagai perlindungan bagi warga negara Indonesia di luar negeri pada umumnya, dan para pekerja migran secara khusus.
Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI, sebelumnya BNP2TKI) juga mengembangkan platform digital serupa untuk memudahkan para pekerja mencari perlindungan.
Komitmen pemerintah untuk menguatkan aspek pencegahan kasus serupa, mulai dengan menyelesaikan sejumlah persoalan di dalam negeri--sebelum pekerja diberangkatkan, diamini oleh lembaga advokasi hak pekerja migran Indonesia, Migrant CARE.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, menilai bahwa pemerintah masih perlu mengambil langkah yang progresif terkait hal ini, misalnya dengan "segera mengimplementasikan UU No. 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, utamanya yang menyangkut tata kelola kewenangan pemerintah daerah."
Mengutip Migrant CARE Outlook 2020, tata kelola yang dimaksud berkaitan dengan transformasi dari yang sebelumnya bersifat sentralistis menjadi desentralistis, sehingga dibutuhkan kesiapan dan sinergi dari pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga pada tingkat desa.
"Amanat UU No. 18 Tahun 2017 bahwa pendidikan dan pelatihan agar lebih banyak dilakukan di daerah belum terkoneksi dalam membangun layanan publik yang terintegrasi," tulis Migrant CARE.
"Dalam kerangka desentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja, pemerintah pusat juga bisa mengkonvergensi pembelajaran dari inisiatif-inisiatif lokal yang telah diterapkan di daerah-daerah basis pekerja migran."
Sejumlah pekerjaan rumah dalam pelindungan pekerja migran masih perlu mendapat perhatian dan diselesaikan pemerintah, namun di saat yang sama pemerintah juga telah melakukan serangkaian upaya hingga sejumlah kasus hukum yang menjerat pekerja migran berhasil dimenangkan.
Kementerian Luar Negeri, sebagai fasilitator utama dalam hal ini, agaknya menjadi pihak yang mesti bekerja paling keras untuk seutuhnya mewujudkan slogan yang diusung: Negara Melindungi. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil