jpnn.com - JPNN.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, telah terjadi langkah mundur dalam kepemiluan sepanjang 2016. Paling tidak terkait komitmen memberantas politik uang, sebagaimana terlihat dalam Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Menurut Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil, di satu sisi, undang-undang hasil revisi UU Nomor 8/2015 tersebut memang mengatur ancaman sanksi berat terhadap pelaku politik uang. Bahkan pelaku pelanggaran bisa dijerat dengan dua jenis sanksi sekaligus. Yaitu sanksi pidana dan administrasi.
BACA JUGA: Markas BNNP Kaltim Diserang, Buwas Akui Ada Keteledoran
"Tapi sayangnya, semua ancaman sanksi berat itu dimentahkan sendiri oleh penjelasan yang ada di dalam UU Nomor 10/2016. Disebutkan, perbuatan memberikan uang kepada pemilih dengan alasan untuk makan, transport dan hadiah, diputihkan dari sanksi politik uang," ujar Fadli di Jakarta, Kamis (29/12).
Perludem kata Fadli, menyimpulkan penjelasan tersebut sebagai bentuk legalisasi politik uang.
BACA JUGA: Merasa Dicuekin, Menteri Bentak TKA asal Tiongkok
"Argumentasinya sangat sederhana, memberi uang tunai pada pemilu dalam sebuah kontestasi pemilihan, dengan alasan apapun, adalah bentuk politik uang," ucap Fadli saat membacakan rilis akhir tahun Perludem.
Selain itu, Perludem juga menyimpulkan pemberian uang tunai pada pemilih dapat mengaburkan makna kontestasi pilkada, sebagai ajang adu gagasan, visi, misi dan program pasangan calon.
BACA JUGA: Presiden Menjajal Senapan Paspampres
"Ketentuan sanksi bagi penerima politik uang, sudah semestinya diikuti pendidikan politik dan sosialisasi yang memadai bagi semua kalangan pemilih tentang adanya sanksi berat menerima politik uang dalam UU Pilkada yang baru," pungkas Fadli.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi: Pasukan Harus Jaga Nama Baik Paspampres
Redaktur & Reporter : Ken Girsang