jpnn.com - BANDA ACEH - Setelah Medan Sumatera Utara, giliran industri pariwisata Aceh yang mulai implementasi Go Digital be The Best.
Konsep yang di-launching Menpar Arief Yahya di Rakornas Kemenpar selama dua hari di Econvention, Ancol, Jakarta lalu itu, terus bergulir dan mendapat respons antusias.
BACA JUGA: 5 Menit Untuk 5 Hari Terakhir Vote Halal Tourism
Sekitar 100 pelaku bisnis pariwisata dan komunitas digital hadir di Grand Nanggroe Hotel, Banda Aceh, 2-3 November 2016.
"Manfaatkan seoptimal mungkin acara menuju pariwisata berbasis digital ini. Yang punya usaha tour & travel, hotel, souvenir, transportasi wisata, dan atraksi lain silakan belajar dan ikuti program ini dengan baik. Kita harus jemput future customers yang 70 persen menggunakan online system," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Reza Fahlevi membuka acara sosialisasi Aceh Go Digital be The Best itu.
BACA JUGA: Inilah Jurus Arcandra Perkuat Pertamina
"Saat ini Kemenpar telah menetapkan Aceh sebagai salah satu destinasi wisata halal dunia, pastinya kita perlu sekali menyasar pasar internasional. Adanya kegiatan Go Digital ini menjadi fokus kita untuk memperkuat pemasaran," jelas Reza.
Sesi I, Stafsus Menpar Bidang IT, Samsriyono Nugroho memaparkan gambar besar atau road maps Kemenpar soal go digital. Di pasar mana pun, termasuk Tiongkok yang outbound traveller-nya 120 juta setahun, sudah online minded.
BACA JUGA: Pembentukan 6 Holding BUMN, Sektor Pertambangan Paling Siap
Dari searching, booking, sampai payment berada di genggam smartphone. "Itulah mengapa Pak Menpar Arief selalu menyebut More Digital More Personal, More Digital More Global, More Digital More Professional," ujar Samsriyono.
Mantan Dirut Lintas Arta itu menjelaskan di era digital, industri juga harus bisa bersaing mengikuti kemauan zaman. Online Travel atau biasa disebut OTA semakin merambah sektor manapun, baik di bidang transportasi maupun di tourism.
"Karena itulah Kemenpar membangun digital market place yang akan mensupport industri untuk bersaing di level global," jelas Sam.
Pasar online atau lapak digital itulah yang akan dijalankan oleh ITX Indonesia Travel Xchange, platform yang mempertemukan suplay dan demand, dan langsung bisa bertransaksi dari searching, booking sampai payment.
Lebih teknis, Claudia Ingkiriwang, Ketua Probis ITX, Sigma menajamkan bahwa ITX itu bukan OTA, bukan pelaku bisnis pariwisata, bukan penjual tiket ataupun pembuat paket wisata. "Kami ini murni IT, bergerak di teknologi, jadi netral," kata Claudi mengawali presentasinya.
"ITX ini hanya platform untuk mempertautkan customers atau traveller yang hendak berwisata ke Indonesia. Mereka begitu masuk ke ITX.co.id bisa memilih apa saja menu yang dicari, dari accomodations, attractions dan access atau industri transportasi. Mereka bisa langsung bertransaksi sampai kr pembayaran via online. Dan uangnya tidak mampir ke ITX, tetapi lamgsung ke para pelaku industri wisata," tuturnya.
Apa sih untungnya bagi industri menggunakan jasa ITX? Pertama, menurut Claudia, para pebisnis pariwisata akan memperoleh template website yang bisa dijadikan landing pages buat bisnis wisatanya.
"Besok pagi, 3 November akan diajari, diasistensi, bagaimana memasang foto, membuat narasi, menempatkan banner. Tahun pertana, biaya hosting-nya pun gratis," jelas Claudia.
Kedua, mereka akan mendapatkan booking syatem dan payment mechine gratis pula. Tiga hal itu saja, jika dibuat sendiri dengan konsultan web sendiri, yang layak diklik, sekitar Rp 300 juta sampai Rp 400 juta.
"Kalau sudah bisa register, memasukkan konten, maka tinggal diaktivasi dan menunggu konfirmasi dari Kemenkominfo. Keunggulan ketiga, pltform ini available untuk semua ekosistem bisnis pariwisata, dari hotel, suvenir, tiketing theme park, sampai urusan kopi gayo, tenun aceh, dan segala rupa yang berbasis pariwisata masuk. Ini tidak ditemukan di Agoda.com yang hanya bermain di hotel, xpedia di hotel dan airlines.
"Jadi kreativitas para sellers ini juga menentukan sukses tidaknya ITX. Dan para distributor bisa belanja sendiri dalam membuat paket di ITX ini," jelas Claudia.
Keempat, secara periodik, ITX juga akan mereview members nya, yang di posisi terendah akan diberikan business advisory, semacam memberikan masukan agar bisa bersaing.
"Tetapi itu by syatem ya? Tidak mungkin memberi advice satu per satu, karena saat ini saja jumlah membersnya sudah lebih dari 5.800 industri. Kami ingin semua maju dan berkembang," jelas dia.
Kelima, melalui ITX ini para suplayer dan distributor tidak hanya bertemu dengan user atau traveller langsung. Bisa juga bertemu dengan distributor lain, seperti Agoda.com, Xpedia.com, Traveloka, musafir.com, Ctrip.com, yang namanya juga populer di dunia OTA.
"Kalau tidak melalui ITX, pelaku bisnis harus appointment sendiri melalui program table top, atau ikut travel mart di luar negeri? Pasti akan lebih sulit dan costnya menjadi sangat mahal?" kata dia.
Keenam, ketika ada event besar, semua industri dalam ekosistem pariwisata bisa ikut berjualan bersama. Misalnya saat Borobudur Run, industri perhotelan, resort, rent car, theme park, resto, souvenir, culiner, semua bisa membuat program diskon bersama sama, dan diposting bersama pula," ungkap Claudi.
Cross industry inilah yang oleh Menpar Arief Yahya sering disebut sharing economy, atau Presiden Joko Widodo mengatakan ekonomi gotong royong. Mereka juga bisa memasng tarif murah meriah, saat low season. Memanfaatkan excess capacity, daripada kosong," jelasnya.
Lalu di mana posisi komunitas Menia Sosial? Besar sekali, karena bisa mempromosikan event yang langsung terkait dengan platform selling, ITX itu. "Komunitas medsos itu bisa menjadi amplifier, bisa menjadi supporter, sekaligus guidence bagi sesamanya di dunia maya. Mereka bisa memerankan diri dalam pre event, on event maupun post event. Testimoni mereka di medsos, akan menjadi referensi positif bagi para traveller," tambah Don Kardono, Stafsus Menpar Bidang Media.
Contohnya Aceh, yang paling atraktif di Twitter, Facebook dan Instagram. Komunitas medsos nya Aceh bisa membangun "rasa penasaran" orang untuk datang dan berwisata di Serambi Mekkah itu.
"Mereka adalah endorser medsos yang punya pengikut loyal. Dengan mudah, melalui digital activations, mereka akan membuat trending topic," jelas Don Kardono. (adv)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Regulasi Jadi Tantangan Terbesar Berinvestasi di Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi