jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan, aturan baru dana BOS seperti yang tertuang dalam Permendikbud 8 Tahun 2020 akan menciptakan masalah baru.
Menurut dia, alokasi 50% BOS untuk gaji guru honorer ini akan membuat pemerintah daerah menganggap urusan honorer sudah ditangani oleh pemerintah pusat lewat dana BOS. Dengan alasan itu, ia menduga mayoritas pemerintah daerah akan lepas tangan terhadap pendapatan guru honorer.
BACA JUGA: Jumlah Siswa Penerima Dana BOS Berkurang, Mas Menteri Belum Tahu Penyebabnya
Padahal, kata dia, Menteri Nadiem menyebut yang berhak mendapatkan dana BOS 50% hanyalah mereka yang memiliki NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan) dan terdaftar di Dapodik.
"Banyak sekolah, ketika guru honorer yang tidak memiliki NUPTK dan tidak terdaftar di Dapodik dikeluarkan maka mereka akan mengalami kekurangan guru yang artinya kelas-kelas mereka akan mengalami kekosongan," kata Ramli dalam pesan elektroniknya, Kamis (13/2).
BACA JUGA: 789.381 Guru Honorer Tanpa NUPTK, tak Bisa Ikut Nikmati Dana BOS
Akibat kekosongan itu, menurut dia, kepala sekolah dengan segala kreativitasnya akan tetap mempekerjakan mereka dengan mengatasnamakan guru-guru yang ber-NUPTK.
"Masalahnya adalah pendidikan kita menjadi tidak mendidik, sekolah kita menjadi ladang kebohongan serta kepura-puraan dan kepala kepala sekolah kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak pantas dalam dunia pendidikan," ujarnya.
BACA JUGA: Alokasi Dana BOS 50 Persen untuk Guru Honorer Tidak Langgar Kebijakan MenPAN-RB
Selain itu, menurut dia, selama ini 85% dari dana BOS digunakan untuk operasional sekolah dan hanya 15% yang digunakan untuk membayar guru honorer. Ketika angka 15% tersebut digeser menjadi 50%, secara otomatis angka 85% pun akan bergeser ke 50%.
Pertanyaannya, kata dia, dari mana sekolah memperoleh angka 35% selisihnya yang selama ini sudah digunakan oleh sekolah untuk membiayai operasional sekolah?
"Apakah kemudian listrik bisa dibayar setengahnya saja dulu, wi-fi dibayar setengahnya saja dulu kemudian barang-barang lain dibayar setengahnya saja dulu?" katanya.
Transfer dana yang dilakukan langsung dari pusat ke sekolah memang sangat positif. Sebab, selama ini beberapa daerah bermasalah dengan transfer dari dana kas daerah ke kas sekolah. Namun, di sisi lain kepala-kepala daerah akan lepas tangan karena menganggap urusannya adalah urusan pusat dan sekolah.
Masalahnya kemudian menurut Ramli, kepala-kepala sekolah ini akan sangat kreatif melakukan manuver-manuver terhadap anggaran dalam upaya mempertahankan jabatan mereka. Apalagi daerah-daerah sedang menghadapi Pilkada.
"Semua hal-hal tersebut sangat berpotensi menggiring kepala sekolah mengembara di ranah hukum," ujarnya. (esy/jpnn)
Menkes Tolak Hasil Penelitian Havard Soal Virus Corona
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad