jpnn.com, KUALA LUMPUR - Langkah PM Malaysia Mahathir Mohamad menghidupkan kembali proyek-proyek yang didanai utang dari Tiongkok mengundang sorotan tersendiri. Pasalnya, hal itu bertentangan dengan sikapnya ketika baru kembali duduk di kursi orang nomor satu pemerintahan Negeri Jiran.
Mahathir pada saat itu mengirim pesan kuat ke Beijing tentang keinginan dan tekadnya untuk meninjau ulang atau membatalkan proyek-proyek dengan Tiongkok. Dia ingin Malaysia menghindari perangkap utang Tiongkok, yang telah membuat negara-negara lain tidak punya pilihan selain menyerahkan kendali proyek berhutang kepada Beijing.
BACA JUGA: Kembali ke OBOR
Namun, penentangan Mahathir terhadap Tiongkok tidak bertahan lama. Forbes akhir pekan kemarin, Minggu (21/4) merilis artikel berjulul "Malaysia Cannot Escape From China. It's Too Late" yang merupakan opini dari kontributor bernama Panos Mourdoukoutas.
Dia adalah seorang profesor dan ketua Departemen Ekonomi di LIU Post di New York. Dia juga mengajar di Universitas Columbia dan kerap menerbitkan beberapa artikel di jurnal dan majalah profesional dunia.
BACA JUGA: Ogah Disandera Amerika, Tiongkok dan Rusia Jauhi Dolar
Dalam artikel itu, dia menjelaskan bahwa Malaysia sudah terjerat dalam jaring Tiongkok, dan tidak ada jalan keluar. Langkah terbaik yang bisa dilakukan adalah membawa Beijing ke meja perundingan, dan mencoba untuk mendapatkan penawaran yang lebih baik untuk proyek yang sedang berjalan.
Karena itulah, hal terbaik yang bisa dicapai Mahathir adalah memangkas biaya proyek investasi yang ditugaskan kepada kontraktor Tiongkok.
BACA JUGA: Hindari Dampak Sanksi AS, Rusia Ajak Tiongkok Tinggalkan Dolar
Pekan lalu, Tiongkok sepakat untuk memotong biaya proyek East Coast Rail Link hingga sepertiga. Minggu ini, kedua negara telah sepakat untuk menghidupkan kembali proyek Bandar Malaysia dengan kontraktor asli, yakni perusahaan patungan antara perusahaan Malaysia Iskandar Waterfront Holdings dan China Railway Engineering Corp (CREC),
Lalu, apa yang membuat Malaysia melunak ke Tiongkok? Tentunya banyak faktor yang melatarbelakanginya. Namun salah satunya adalah bahwa ada banyak biaya yang sudah "tenggelam" untuk proyek-proyek tersebut dan akan sulit untuk menemukan sumber pembiayaan alternatif untuk melanjutkannya.
Bukan hanya itu, faktor lainnya kemungkinan adalah, ada ketergantungan Malaysia pada Tiongkok untuk ekspornya. Tahun lalu, Tiongkok adalah pasar ekspor terbesar untuk Malaysia (yakni 42,5 miliar dolar AS), diikuti oleh Singapura (35,7 miliar dolar AS), dan Amerika Serikat (33,1 miliar dolar AS).
Menurut data Tradingeconomics.com, secara kebetulan, ekspor Malaysia turun secara tak terduga belakangan ini, yakni sebesar 5,3% setiap tahun menjadi MYR 66,6 miliar pada Februari 2019, setelah 3,1% pada Januari dan kehilangan konsensus pasar sebesar 1,4%,.
Penjualan turun untuk produk berbasis minyak kelapa sawit dan minyak sawit, produk minyak sulingan, minyak mentah, kayu & produk berbasis kayu dan karet alam. (rmol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Negara Tajir Mulai Terpikat Proyek Infrastruktur Tiongkok
Redaktur & Reporter : Adil