jpnn.com - Kebijakan imigrasi di Eropa sangat kental dengan nuansa politik. Terutama sejak krisis pengungsi dan imigran memuncak pada 2015. Sekalipun beberapa negara mau menerima kehadiran mereka, ada isu sensitif yang kerap terlewatkan. Yakni, integrasi alias pembauran.
Akhir Januari Bruegel, lembaga think tank Belgia, merilis data terbaru tentang masalah-masalah imigran yang muncul di negara-negara Uni Eropa (UE).
BACA JUGA: Krisis Populasi di Eropa dan Berkah dari Imigran
’’Penyebab utama munculnya masalah-masalah itu absennya kebijakan-kebijakan yang koheren (berhubungan, Red) soal integrasi kaum pendatang dan penduduk asal.’’ Demikian bunyi kesimpulan Bruegel sebagaimana dilansir Bloomberg. Tahun lalu hanya Jerman, Austria, dan Swedia yang menerbitkan regulasi pembauran imigran dan penduduk asli.
Saat ini populasi negara-negara Eropa jalan di tempat. Di kawasan Eropa Timur, populasinya malah menyusut. Padahal, populasi merupakan faktor penting penyokong perekonomian. Menambah jumlah penduduk demi memperbesar angkatan kerja menjadi solusi yang tidak bisa ditawar.
BACA JUGA: Ujaran Kebencian Makin Gila, Bayi Baru Lahir Pun Jadi Target
Di sisi lain, mengandalkan pertambahan jumlah penduduk dari proses alami alias kelahiran tidak bisa diharapkan. Sebab, sangat kecil angka kelahiran di negara-negara Eropa.
Mau tidak mau, Eropa harus merangkul kaum pendatang. Yakni, pengungsi dan imigran. Terutama yang datang dari luar Eropa.
BACA JUGA: 52 Film Indonesia Bakal Diputar di Eropa
Dalam penelitiannya, Bruegel menemukan dua faktor penghalang utama yang membuat negara-negara di Benua Biru itu enggan atau bahkan tidak mau menerima imigran. Faktor pertama adalah persepsi.
’’Sebagian besar masyarakat Eropa menganggap para imigran mendapat fasilitas dan keuntungan yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang seharusnya didapat,’’ terang seorang perwakilan Bruegel. Di antara 51 negara Eropa, hanya Swedia dan Estonia yang menolak anggapan tersebut.
Faktor kedua adalah keyakinan bahwa imigran yang datang di Eropa adalah orang-orang buangan. ’’Mereka dianggap tidak punya keterampilan apa-apa dan cenderung susah bergaul,’’ lanjutnya.
Padahal, tidak semua imigran seperti itu. Sebagian besar di antara mereka justru orang-orang yang punya pekerjaan di negara asal. Mereka terpaksa hengkang dari negaranya demi tetap bertahan hidup.
Data Bruegel membuktikan bahwa 22 persen imigran di Eropa adalah orang-orang yang mumpuni di bidangnya dan sangat layak bekerja. Sedangkan jumlah pekerja asli Eropa yang punya kualifikasi setara hanya sekitar 13 persen. ’’Di Inggris, imigran berkualitas mencapai 35 persen. Di Portugal, angkanya berkisar 47 persen,’’ ujar perwakilan Bruegel tersebut. (hep/c4/pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politikus Anti-Islam Sukses Bikin Austria Larang Burqa
Redaktur & Reporter : Adil