jpnn.com - Populasi penduduk di Eropa terus berkurang. Laju penyusutan tercepat terjadi di Bulgaria. Sikapnya yang anti-imigran ternyata justru mengundang masalah baru.
”Tidak ada makhluk hidup lain di sini,” kata Ekaterina Svetulkova sambil mengudap kuaci biji bunga matahari.
BACA JUGA: Pengadilan Jerman Larang Masjid Gunakan Speaker untuk Azan
Yang dia maksud adalah manusia lain. Sebab, di sebelah bangku beton yang dia duduki sore itu di Banitsa, hanya berbaring seekor anak kucing.
Bagi Svetulkova, Banitsa adalah kampung halaman. Desa kecil itu masuk wilayah Provinsi Vratsa, kawasan barat laut Bulgaria. Meski baru pindah ke desa tersebut pada usia 24 tahun, dia sudah menetap di sana selama 58 tahun.
BACA JUGA: Semula Anti-Islam, Politikus Jerman Ini Sekarang Jadi Muslim
”Saya tinggal sendirian di sini. Anak-anak saya pindah ke tempat lain yang lebih ramai,” ujar perempuan 82 tahun itu.
Dulu, saat Svetulkova kali pertama hijrah ke Banitsa, desa itu masih normal. Masih banyak aktivitas ekonomi di sana. Tapi, kini semuanya tinggal kenangan.
BACA JUGA: Perawat Keji Ini Diduga Habisi Ratusan Pasiennya
Pabrik-pabrik roti yang selalu menebar aroma wanginya itu tutup. Demikian juga toko-tokonya. Gedung pertunjukan sudah lebih dahulu ditinggalkan para penonton.
”Sebenarnya masih ada beberapa teman. Tapi, mereka tinggal agak jauh dari rumah saya. Dan, usia mereka juga sudah lanjut. Maka, kami tidak lagi saling mengunjungi,” ungkap Svetulkova.
Sampai akhir 2017, penduduk Bulgaria berjumlah 7,2 juta jiwa. Sebanyak 20 persennya adalah kaum lanjut usia. Di Banitsa, kaum lanjut usia yang mendominasi.
Mereka yang muda tak mau tinggal di Banitsa yang sepi. Satu-satunya yang menjadi daya tarik hanyalah pemandangan alamnya.
Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Bulgaria, Vratsa merupakan yang paling jarang penduduk. Juga, yang paling miskin. Tiap tahun jumlah penduduk di Kota Vratsa, ibu kota provinsi yang berjarak 20 kilometer dari Banitsa itu, menyusut 2.000 orang.
”Tanpa investasi baru, kota yang dulunya kawasan industri ini akan mati dalam sepuluh tahun,” kata Wali Kota Vratsa Kalin Kamenov.
Semua bermula pada era 90-an. Tepatnya setelah Uni Soviet bubar. Negara-negara di kawasan Eropa Timur kolaps.
Saat ini Bulgaria kehilangan lebih dari 1 juta penduduk usia produktif. Mereka pindah ke Eropa Barat yang lebih stabil dan makmur untuk mencari nafkah. Tak pernah kembali.
Jerman, menurut Georgi Angelov, ekonom Open Society Institute, mengalami masalah populasi yang sama dengan Bulgaria. Penduduk di Jerman juga banyak yang tua.
Bahkan, lebih banyak dari populasi lanjut usia Bulgaria. Data World Atlas menyebutkan bahwa 21,2 persen penduduk Jerman adalah mereka yang berusia 65 tahun ke atas.
Tapi, Jerman tetap stabil. Perekonomiannya tetap bergerak. Kuncinya ternyata adalah para imigran. Ya, gelombang eksodus pengungsi Syria pada 2015 justru berbuah manis bagi perekonomian Jerman. Itu tidak terjadi di Bulgaria yang anti-imigran.
Presiden Bulgaria Rumen Radev menutup semua pintu perbatasan untuk imigran. Imigran yang melintasi Bulgaria dalam perjalanan dari Turki ke Jerman hanya lewat di negara Radev. ”Bulgaria tidak boleh menjadi jujukan imigran,” tegasnya.
Sikap keras itulah yang justru membuat perekonomian Bulgaria tertinggal dari Estonia dan Polandia. Padahal, dua negara yang dahulu sama-sama bekas Uni Soviet itu juga bukan negara kaya.
Estonia menempati urutan ke-14 negara populasi lanjut usia terbesar. Sedangkan Polandia ada di peringkat ke-9 negara dengan penyusutan populasi tercepat. Namun, keramahan mereka kepada imigran membuat mereka mampu bertahan. (hep/c10/pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jerman Ogah Bantu Saudi Membantai Warga Yaman
Redaktur & Reporter : Adil