jpnn.com - JAKARTA - Pakar hukum dari Universitas Trisakti Ali Ridho menilai penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik banyak dikritik karena melenceng dari mandat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Menurutnya, PP 28/2024 hanya mengatur terkait jenis gambar peringatan, sementara RPMK memasukkan ketentuan mengenai kemasan polos.
BACA JUGA: Kemenkes Banjir Protes soal Aturan Tembakau, Ini Sebabnya
"Saya kira peraturan ini offside karena keluar dari jalur mandat yang diperintahkan di dalam PP 28/2024,” ujar Ali Ridho dalam keterangannya, Minggu (13/10).
Ali Ridho juga menilai RPMK bertabrakan dengan berbagai undang-undang lainnya. Menurutnya Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen secara gamblang menjelaskan setiap warga negara memiliki hak untuk mengetahui produk yang mereka beli. Selain itu, ada pelanggaran hak asasi manusia dalam RPMK.
BACA JUGA: Pengusaha Tembakau Tolak Aturan Kemasan Polos pada Rokok, Ini Alasannya
“Di UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hal yang sama. Kalau kebijakan kemasan polos diterapkan maka ada undang-undang yang dilanggar,” ucapnya.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan tersebut dikhawatirkan menciptakan kebingungan di masyarakat.
BACA JUGA: DPR Dorong Kajian Mendalam untuk Perumusan Regulasi Industri Hasil Tembakau
Konsumen jadi tidak mengetahui produk yang digunakan legal atau ilegal.
"Padahal hak konsumen sudah digaransi di dalam undang-undang. Peraturan Kementerian yang ingin mencoba di luar jangkauannya, maka akan menciptakan potensi tabrakan dengan undang-undang," katanya.
Polemik RPMK makin diperparah karena minimnya pelibatan para pemangku kepentingan.
Dengan kondisi tersebut Ali Ridho menilai RPMK dapat dicap sebagai peraturan yang cacat formal karena aspek materialnya bermasalah sehingga dapat dibatalkan.
“Jadi, perlu pembahasan ulang dan duduk bersama dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang terdampak. Bukan hanya melibatkan masyarakat atau pihak-pihak yang mendukung kebijakan kemasan polos,” ucapnya.
Pelaku usaha dan konsumen di industri rokok elektronik juga telah menyuarakan agar Kemenkes mengevaluasi RPMK.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasmita berharap RPMK tidak disahkan.
Menurutnya kebijakan dimaksud banyak menganut poin-poin dalam perjanjian internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan inisiatif World Health Organization dan tidak diratifikasi Indonesia, sehingga mengabaikan banyak pihak yang terlibat di dalam industri rokok elektronik.
“Semoga bisa diubah oleh pemerintahan yang baru. Kalau bisa, kami inginnya tidak perlu judicial review,” katanya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO) Paido Siahaan menilai Kementerian Kesehatan seharusnya mempertimbangkan hak konsumen untuk memperoleh informasi yang lengkap dan jelas terhadap produk yang dipakai.
Menghilangkan elemen merek (brand) dan informasi pada kemasan sama saja dengan menghambat konsumen untuk mendapatkan informasi produk sehingga dapat memutuskan produk yang tepat.
“Kebijakan yang diambil harus seimbang dengan mempertimbangkan tujuan kesehatan masyarakat sambil tetap melindungi hak konsumen dan memberikan pilihan yang lebih baik bagi perokok dewasa,” kata Paido. (gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang