Kemenkes Banjir Protes soal Aturan Tembakau, Ini Sebabnya

Jumat, 27 September 2024 – 15:50 WIB
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terus menuai kritik. Foto/ilustrasi: Ara Antoni/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terus menuai kritik.

Adapun kebijakan yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

BACA JUGA: DPR Dorong Kajian Mendalam untuk Perumusan Regulasi Industri Hasil Tembakau

Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengatakan permasalahan utama RPMK tersebut adalah pada penyusunan Peraturan Pemerintah.

"Kami selaku pemangku kepentingan di bidang produksi industri tidak dilibatkan. Bahkan, finalisasi Peraturan Pemerintah sebelum ditanda tangan oleh Presiden Republik Indonesia itu tidak diparaf oleh beberapa kementerian. Justru, di sinilah yang kami sesalkan,” kata Benny dikutip, Jumat (27/9).

Benny mengatakan terkait masalah kesehatan, industri sepakat masyarakat Indonesia harus sehat.

BACA JUGA: Pemangku Kepentingan Sektor Tembakau Tolak Turunan PP 28/2024

Namun, dia menegaskan bahwa pembahasan permasalahan ini tidak bisa hanya mempertimbangkan sudut pandang kesehatan atau industri saja.

"Kedua belah pihak harus duduk bersama-sama untuk menemukan jalan tengah yang dapat memfasilitasi kebutuhan seluruh pihak terkait," katanya.

Di sisi lain, Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyebut pihaknya ingin melakukan pengendalian terhadap rokok dan zat adiktif lainnya, tetapi tidak melarang orang merokok.

BACA JUGA: Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Bisa Menambah Jumlah PHK

"Orang tetap boleh merokok karena merokok adalah hak dari masing-masing,” kata Siti Nadia.

Kemasan Polos jadi Persoalan

Salah satu pasal yang menjadi kontroversi dalam RPMK adalah ketentuan mengenai standardisasi kemasan menjadi polos.

Pasal 5 dalam draf menyebutkan, kemasan produk tembakau harus berwarna Pantone 448 C, serta memiliki penulisan merek, varian, dan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia.

Secara terpisah, Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kemendag Angga Handian Putra menyatakan Kemenkes belum memberikan undangan resmi kepada Kemendag untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan kemasan rokok polos (24/09).

Menurut Angga, pihaknya mengetahui rancangan aturan tersebut melalui situs Kemenkes, bukan dari komunikasi langsung.

Kemendag juga mengingatkan bahwa selain tantangan terkait merek dagang, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menciptakan hambatan perdagangan.

Angga turut menyoroti pentingnya bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kebijakan ini mendukung kesehatan masyarakat, sesuai dengan perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berlaku.

"Kami berharap bahwa Kementerian Kesehatan menyertai bukti-bukti ilmiah dan memperhatikan ketentuan-ketentuan WTO yang ada," pungkas Angga.

Selain Kemendag, Kementerian Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea Cukai Askolani juga terang-terangan menyampaikan kekhawatirannya.

Askolani menyoroti potensi kesulitan pengawasan di lapangan jika kebijakan kemasan polos ini diterapkan, terutama dalam membedakan berbagai jenis rokok yang beredar. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan peredaran rokok ilegal.

“Bahwa kalau kemudian kemasan rokok menjadi polos, dari sisi pandangan kami, punya risiko dalam aspek pengawasan," kata Askolani saat konferensi pers APBN Kita Edisi September 2024 di Jakarta (23/9). (mcr10/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler