jpnn.com, JAKARTA - Tren aksi terorisme yang terjadi di seluruh dunia pada akhir-akhir ini dimanfaatkan oleh kelompok radikal menggunakan kaum perempuan.
Sebab, dengan memakai kaum perempuan sebagai ‘martir’ untuk aksi bom bunuh diri, maka aksi mereka tidak begitu terlihat.
BACA JUGA: Cegah Radikalisme di Kampus, BNPT Gandeng Umaha
Apalagi, jika sudah didoktrin masalah agama, kaum perempuan akan selalu setia.
“Karena memang untuk kesetiaan dan patuh pada suami maka kaum perempuan itu memang sangat bisa diandalkan. Apalagi kalau sudah memakai doktrin atau ideologi agama, maka perempuan itu bisa langsung patuh. Seperti wanita yang tertangkap di Bekasi tahun lalu yang akan dikorbankan suaminya sebagai ‘pengantin’ untuk bom bunuh diri,” ujar Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender ( LKAJ) Siti Musdah Mulia di Jakarta, Jumat (21/4)
BACA JUGA: Perangi Radikalisme, Fatayat NU Siapkan 1.000 Dai Wanita
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, kebanyakan masyarakat di Indonesia gampang menilai kaum wanita yang sudah memakai jilbab dianggap sebagai perempuan baik-baik.
“Padahal tidak seperti itu. Tidak semua wanita yang berjilbab itu adalah wanita baik-baik. Karena persoalan terorisme ini persoalan mordenitas yang sangat rumit, kompleks dan menjadi permasalahan global. Siapa saja bisa terlibat, jadi harus benar-benar berhati-hati dan waspada” ujar wanita kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958 ini.
BACA JUGA: Deradikalisasi di Indonesia Sudah Oke
Menurutnya, perempuan sangat mudah digunakan sebagai martir untuk melakukan bom bunuh diri dikarenakan masalah loyalitas dan ketaatan.
Sebab, kalau perempuan itu sudah taat, maka sampai mati mereka akan sulit untuk berubah.
“Beda dengan kaum laki-laki yang masih bisa atau mudah dirayu untuk berubah. Tapi kalau wanita tidak mudah, bahkan bisa dikatakan akan lebih nekat,” ujarnya.
Wanita yang selama ini dikenal sebagai pemikir Islam dan aktivis sosial ini mengatakan, sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan kaum perempuan sangat mudah untuk mau bergabung dengan kelompok radikal tersebut.
Namun demikian, faktor utamanya adalah ideologi.
“Bagaimana tidak kalau tiap pagi, siang, malam mereka dicekoki pandangan Islam yang radikal seperti orang kafir wajib dibunuh, lalu Pancasila dianggap kebarat-baratan, tidak islami dan thogut, sehingga di mata kelompok radikal tersebut kita wajib mendirikan agama Islam. Tentunya kata-kata tersebut sangat mudah membuat orang termasuk kaum perempuan menjadi terpengaruh untuk radikal,” katanya.
Dirinya juga masih sering melihat masyarakat Indonesia masih banyak yang menganggap kalau ada kegiatan pengajian yang tertutup dianggap biasa saja, dinilai sebagai kegiatan agama yang benar.
“Di masyarakat kita ini kan sudah memahami kalau kegiatan pengajian adalah suatu hal yang positif. Mereka tidak tahu kalau di pengajuan yang tertutup itu orang sudah dicekoki dengan ideologi radikal,” katanya.
Untuk mencegah kaum perempuan agar tidak mudah terpapar paham radikal, wanita yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) itu meminta kepada pemerintah untuk harus selalu bersikap tegas.
Yakni, tidak membiarkan sekecil apa pun semua ideologi yang berbau radikal ada di lingkungan.
“Kalau pemerintah tidak tegas dalam melakukan hal tersebut, maka perempuan akan menjadi korban. Meski perempuan itu adalah pelaku bom, tapi pada hakikatnya dia adalah korban, korban ideologi yang dicekoki oleh suaminya, keluarga mereka sendiri dan bisa juga masyarakat di sekeliling mereka. Jadi wanita itu adalah korban,” imbuhnya.
Selain itu, pemerintah juga harus bisa menyelesaikan masalah-masalah keadilan sosial yang terjadi di masyarakat. Ketimpangan ekonomi harus dijembatani. Karena ketimpangan ini jika masih terjadi maka akan menjadi pembenaran bagi kelompok-kelompok radikal.
“Karena dari para anggota kelompok radikal yang pernah saya temui di lapas-lapas. mereka selalu mengatakan bahwa korupsi yang terjadi selama ini akibat dari dasar negara kita Pancasila atau gara-gara sisteim demokrasi di negara kita. Kelompok tersebut selalu bilang makanya haru diganti menjadi negara Islam. Dan tentunya ini sangat mebahayakan kalau dibiarjkan terjadi, Karena mengganti ideologi negara itu merupakan impian kelompok teroris tersebut,” ujarnya .
Dia menambahkan, masyarakat masih sangat beruntung punya organisasi besar seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Untuk itu, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus selalu bekerja sama dengan dua organisasi tersebut karena kerja NU dan Muhamnmadiyah cukup luar biasa.
“BNPT harus selalu menggalang dua organisasi tersebut. Apalagi di dua organisasi besar itu ada yang khusus untuk organisais perempuan seperti Muslimat NU, Fatayat NU sedangkan di Muhammadiyah ada Aisyiyah,” katanya
Untuk itu, dalam menyambut Hari Kartini tahun 2017 ini, dirinya mengingatkan bahwa tugas kaum perempuan sangat mulia dalam menjaga kehidupan.
“Seorang perempuan juga harus bisa menjadi leader buat dirinya sehingga bisa mengawasi pikiran kita, hati kita, perilaku kita untuk selalu tetap pada jalan tuhan yang lurus dan benar,” ujarnya. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Sering Main HP, Ortu Tak Boleh Lengah
Redaktur & Reporter : Ragil