Ini Pertimbangan MK Batalkan UU MK

Kamis, 13 Februari 2014 – 21:49 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam mengabulkan seluruhnya permohonan uji materi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK. Pengabulan gugatan ini sama saja dengan MK membatalkan Perppu yang diterbitkan berdasarkan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pascatertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK.

Mahkamah beralasan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang MK nomor 4 tahun 2014 yang sebelumnya adalah Perppu, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Dengan demikian, undang-undang ini sudah tidak berlaku lagi setelah sidang putusannya digelar di Gedung MK, Jakarta pada Kamis (13/2).

BACA JUGA: Tak Takut Diserang, Marzuki Alie Sindir Blusukan Jokowi

Saat ini MK kembali pada posisi semula. Syarat hakim MK yang didalam Perpu minimal 7 tahun pensiun dari partai politik, dihapuskan, sehingga DPR, Mahkamah Agung dan Presiden bebas mengajukan calon hakim konstitusi dari berbagai kalangan.

Selain itu, MK juga menghapus keberadaan panel ahli seleksi hakim MK. dan adanya lembaga pengawas hakim MK, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK).

BACA JUGA: Dahlan Iskan Siapkan Konsep Gotong Royong Abad 21

Berikut petikan pertimbangan MK dalam putusannya.

1. Panel Ahli Bertentangan Dengan UUD 1945

BACA JUGA: Setiap Tahun Anggaran Negara Bocor Rp 1.000 T

Menimbang bahwa salah satu materi UU 4/2014 adalah mengatur proses pengangkatan Hakim Konstitusi. Ketentuan UUD 1945 yang mengatur materi tersebut adalah Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.” UUD 1945 dalam beberapa pasalnya menggunakan kata yang sama maknanya dengan "ajukan" selain yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945 a quo, yaitu sebagai berikut:

Terkait dengan ketentuan pengajuan calon hakim konstitusi  melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial bersama perwakilan Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, dianggap telah nyata-nyata mereduksi kewenangan konstitusional ketiga lembaga tersebut.

Mahkamah mencontohkannya dengan apabila pengajuan Rancangan Undang-Undang, termasuk RAPBN oleh Presiden harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara yang lain adalah juga pasti mereduksi kewenangan Presiden.

Begitu pula dengan kewenangan KY dalam mengusulkan calon Hakim Agung jika harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara lain juga akan mereduksi kewenangan KY.

"Lain halnya apabila lembaga negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan menyeleksi secara intern untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam mengajukan calon Hakim Konstitusi. Hal demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan konstitusional lembaga negara yang direduksi," papar hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dalam pertimbangannya.

Selain itu Mahkamah juga mempertanyakan mengenai penggunaan kata 'ahli' pada kata 'panel' yakni tentang keahlian dalam bidang apa sebenarnya yang diperlukan. Mahkamah berpendapat syarat keahlian pada panel ahli harus lah terukur secara rasional.

"Hakim Konstitusi memiliki karakteristik tersendiri, yang dalam UUD 1945, karakteristik khusus tersebut disebutkan sebagai seorang negarawan. Meskipun syarat 'negarawan' adalah sulit untuk ditentukan kriterianya secara pasti, namun hal demikian haruslah dipahami betapa pembentuk UUD 1945 secara sadar mengidealkan bahwa dalam diri seorang Hakim Konstitusi sekurang-kurangnya layak untuk diharapkan memiliki kepribadian dimaksud," jelas Maria.

2. MKHK Bertentangan Dengan UUD 1945

Terkait dengan pelibatan KY dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim dalam undang undang tersebut, menurut Mahkamah, bahwa checks and balances adalah suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif.

"Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," kata Hakim Konstitusi Hardjono.

"Terlebih lagi, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945," sambungnya.

3. Syarat Hakim MK, 7 tahun Pensiun Dari Partai Politik

Terkait dengan syarat hakim konstitusi harus tujuh tahun telah lepas dari ikatan partai politik, tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014, Mahkamah berpendapat peraturan tersebut diterbitkan karena penangkapan Akil Mochtar sehingga menjadi stigma.

"Stigma biasanya menggeneralisasi, yaitu apa yang telah terjadi pada M. Akil Mochtar kemudian dijadikan dasar bahwa setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas menjadi Hakim Konstitusi," ungkap Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.

"Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, menurut Mahkamah, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Ketentuan a quo tanpa landasan konstitusional yang benar sebagaimana ditentukan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pengaturan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 lebih didasarkan pada stigmatisasi belaka yang dalam penerapannya penuh dengan permasalahan hukum, sehingga dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai syarat yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 beralasan menurut hukum," katanya.

Sebelumnya, pengujian UU Penetapan Perppu MK ini dimohonkan sejumlah advokat yang sering beracara di MK. Mereka menganggap UU tentang Perppu tersebut bertentangan dengan UUD 1945, karena konstitusi tak mengamanatkan pelibatan KY dalam pengajuan calon hakim konstitusi.

Para Pemohon itu terdiri atas Andi M Asrun, Robikin Emhas, Syarif Hidayatullah, Heru Widodo, Samsul Huda, Dorel Almir, Daniel Tonapa Masiku, Hartanto, Samsudin, Dhimas Pradana, dan Aan Sukirman.

Di mata Pemohon, UU tentang Perppu tersebut telah memperbesar kewenangan KY dan mengurangi kewenangan DPR, MA, dan Presiden tanpa mengubah UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Honorer K2 Gagal, Berpotensi Muncul Gejolak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler