jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah memutuskan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) melalui rapat internal kabinet sebesar rata-rata 12,5 persen.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan beberapa hal penting di balik keputusan tersebut. "
BACA JUGA: Bea Cukai Bahas Potensi Ekspor dengan Pelaku Usaha
Menurunya, tarif cukai membutuhkan proses yang panjang, sebelumnya pemerintah telah berdiskusi dengan asosiasi industri rokok, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Kesehatan, dan lainnya.
Pasalnya, penentuan tarif ini harus memenuhi kriteria Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021, yaitu termasuk kebijakan yang berdampak pada masyarakat banyak, bersifat strategis, dan melibatkan antar kementerian/ lembaga.
BACA JUGA: Produk Tembakau Alternatif, Terbukti Lebih Rendah Risiko Dibanding Rokok
"Maka, harus diputuskan sampai batas Presiden, hingga mendapatkan angka rata-rata tertimbang 12,5 persen," ujarnya.
Menurut Nirwala, kenaikan CHT telah mempertimbangkan aspek kesehatan, keberlangsungan tenaga kerja, pemberantasan rokok ilegal, dan penerimaan negara.
BACA JUGA: Asosiasi Petani Tembakau Tiap Tahun Resah
"Pemerintah tidak hanya fokus pada economic growth atau inflasi, tetapi juga faktor pengendalian dari kebijakan cukai, yang menjadi resultan dari empat elemen, yaitu kesehatan, industri termasuk memerhatikan supply chain-nya, yaitu petani tembakau dan tenaga kerja yang terlibat, rokok ilegal, dan penerimaan negara," tegas Nirwala.
Di bidang kesehatan, kenaikan cukai ini diharapkan meningkatkan fungsi cukai yang sesungguhnya, yaitu pengendalian konsumsi dan pengawasan peredaran terhadap barang berbahaya yang mengganggu kesehatan masyarakat, khususnya rokok.
Hal ini juga merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melalui penurunan prevalensi merokok, khususnya usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7 persen pada 2024.
Selain itu, Nirwala menegaskan pemerintah telah menyiapkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk petani tembakau yang dialokasikan setidaknya untuk subsidi harga, peningkatan kualitas bahan baku, iuran jaminan produksi, dan bantuan bibit/ benih/ pupuk/ sarana dan prasarana produksi.
"Begitu pun untuk para tenaga kerja terdampak, Kami sudah mengalokasikan DBHCHT yang secara spesifik ditujukan kepada para tenaga kerja dalam bentuk pemberian bantuan langsung tunai, pelatihan keterampilan kerja, dan bantuan modal usaha. Selain itu, untuk industri sigaret kretek tangan (SKT) yang menyerap banyak tenaga kerja, tarif cukai hanya naik maksimal 4,5 persen," paparnya.
Nirwala mengingat skema cukai bersifat multidimensi, maka kenaikan tarif cukai tembakau selain berfungsi untuk mengendalikan konsumsi, juga memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan negara.
Target penerimaan cukai hasil tembakau konsisten tercapai selama beberapa tahun terakhir.
Pada 2021, penerimaan cukai berhasil terkumpul Rp 188.811,48 miliar dari target Rp 173.780,90 miliar atau tercapai 108,65 persen.
"Kami mengapresiasi kepatuhan para pelaku industri rokok dan upaya aparat penegak hukum dalam mengontrol peredaran rokok ilegal," ucapnya.
Bersamaan dengan fungsi revenue collector ini pun, pemerintah juga memastikan pelayanan yang prima untuk menjaga keberlangsungan industri melalui penyediaan dan distribusi pita cukai dan mitigasi atas dampak kebijakan yang berpotensi mendorong rokok ilegal. (jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia