jpnn.com - JPNN.com – Dalam setahun terakhir jumlah konflik agrarian meningkat dua kali lipat. Jawa Timur menjadi provinsi kedua tertinggi yang menjadi pusara konflik pertanahan tersebut.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah untuk lebih aktif mengatasi masalah agraria dengan serius itu karena berpotensi menjadi konflik di tengah masyarkat.
BACA JUGA: Pengalihan Status PNS, Gaji Belum Beres
Sepanjang 2016, KPA mencatat ada 450 konflik agraria. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 252 konflik.
Sebaran konflik itu paling banyak terjadi di Riau dengan 44 konflik, Jawa Timur (43), Jawa Barat (38), Sumatera Utara (36), Aceh (24), dan Sumatera Selatan (22).
BACA JUGA: Mensos Memuji Gerakan Netizen Suarakan Nasib Soni
Luas wilayah yang jadi area konflik itu mencapai 1,26 juta hektare. Paling banyak masalah perkebunan dengan 163 kasus, properti (117), infrastrutur (100), kehutanan (25), tambang (21), dan sektor pesisir dan kelautan (10).
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menuturkan konflik agraria salah satunya bermula dari administrasi pertanahan yang tidak tunggal.
BACA JUGA: Kemenhan Gembleng 50 Kampiun IT untuk Perang Cyber
Ada satu tanah yang bisa keluar dua sertifikat. Bahkan, dalam sebuah kasus yang ditangani KPA ada satu desa definitif yang tercatat di kependudukan tapi belum punya sertifikat tanah. ”Warga yang menempati berpuluh tahun bisa kehilangan haknya,” ujar dia.
Di Jawa termasuk Jawa Timur, konflik agraria sering kali berkaitan dengan penguasaan tanah oleh perusahaan perkebunan negara, hutan perhutani, hingga perluasan infrastruktur.
Mulai dari jalan tol, bandara internasional, perumahan, hingga waduk. ”Masalah itu tumpang tindih dengan garapan dan pemukiman masyarkat,” tambah dia.
Dewi menyebutkan kebijakan pemerintah juga perlu satu pintu dalam masalah pertanahan. Selama ini, Badan Pertanahan Nasional tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi masalah konflik agraria di lahan perhutanan.
Sebab, hutan tersebut dalam penguasaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. ”Mestinya hanya satu instansi saja yang mengurusi masalah pertanahan,” sebut dia.
Masalah krusial lain yang terjadi adalah penguasaan tanah yang begitu luas oleh satu kelompok usaha.
Dia mencatat sebuah perusahaan holding punya tanah hampir 5 juta hektare. Itu belum termasuk tanah yang dikuasai anak perusahaan.
”Penguasaan itu memang dilakukan dengan cara yang legal. Tapi, di kemudian hari bisa menjadi masalah karena ada monopoli oleh sebagian kecil orang,” jelas Dewi.
Kekhawatiran serupa juga seringkali diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menuturkan bahwa ada satu persen orang yang menguasai sekitar 50 persen aset nasional. Temasuk di dalamnya tanah.
Pada wawancara pertengahan Desember lalu, JK menuturkan pemerintah kini sedang menggodok peraturan yang akan mengatur kepemilikan tanah.
Kemungkinan besar akan ada pembatasan kepemilikan tanah. Karena monopoli pertanahan itu bisa memicu ketidakadilan di tengah masyarakat. (jun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR: Evaluasi Negara Pemilik Bebas Visa ke Tanah Air
Redaktur : Tim Redaksi