jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Asosisasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Eddy Ganefo menawarkan solusi mengentaskan kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal (backlog), kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ke depan.
Pertama, dalam mengatasi hambatan fisik pemerintah segera membuat regulasi berupa payung hukum untuk pengadaan bank tanah.
BACA JUGA: Penyelesaian Utang Jiwasraya Rp 6,7 T tak Seheboh Century
Payung hukum itu mengatur bagaimana menggalang dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapat Belanja Daerah, Corporate Social Responsibility dari Badan Usaha Asing atau Nasional. Kemudian, pemanfaatan tanah terlantar dan sumber-sumber lainnya untuk pengadaan tanah tersebut.
"Juga yang mengatur pengelolaan atau pemanfaatan bank tanah semisal penanggungjawab pengelolaan bank tanah ada di instansi atau badan yang ditetapkan dalam regulasi tersebut," kata Eddy di Jakarta, Selasa (14/10).
BACA JUGA: Masyarakat Pelalawan Tolak Lelang Terbuka Blok Kampar
Selain itu, Eddy menambahkan, pemerintah harus membuat rencana tata ruang yang lebih spesifik untuk perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, komersil, serta rumah vertikal.
"Umpamanya di perkotaan yang sangat padat hanya diperbolehkan pembangunan rumah vertical atau susun," jelasnya.
BACA JUGA: Logo Baru Jiwasraya, Dahlan Koreksi sampai Lima Kali
Kedua, dalam mengatasi hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan, harus mengevaluasi kembali aturan hukum dan perundangan terkait perumahan permukiman.
Eddy juga mengatakan perlunya melakukan kajian, sehingga antara peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi ataupun terkait lainnya tidak saling bertentangan.
"Diharapkan akan tercipta peraturan-peraturan yang berpihak kepada MBR untuk percepatan penyediaan rumah bagi masyarakat Indonesia," katanya.
Ketiga, mengatasi masalah hambatan organisasi yaitu dengan manajemen yang berorientasi kepada rumah komersil. Menurutnya, sangat perlu dilakukan reformasi manajemen khususnya untuk pelayanan rumah bagi MBR. Sebab, selama ini setiap kali menghadapi manajemen untuk melengkapi persyaratan pembangunan perumahan untuk MBR, selalu disamaratakan dengan pengurusan pembangunan perumahan rumah komersil.
"Yang akhirnya berakibat biaya tinggi bahkan secara persentase biaya non teknis rumah untuk MBR lebih tinggi dari rumah komersil," kata dia.
Untuk itu, kata Eddy, perlu dibuat penyeragaman manajemen khusus untuk rumah MBR dan memperpendek alur birokrasi serta pelayanan secara online.
Keempat, mengatasi hambatan politik, perlu disadari bahwa perumahan sebagai tanggung jawab negara dan juga urusan wajib pemerintah daerah.
Karenanya, para pejabat negara, menteri dan kepala daerah seharusnya berkomitmen terhadap tanggungjawab dan urusannya untuk menyediakan rumah yang layak huni kepada rakyatnya.
"Bukan sebaliknya rakyat harus mengemis kepada mereka dan bahkan rakyat menjadi ladang perasan mereka. Kurangnya komitmen politik ini bisa kita lihat pada saat kampanye calon kepala daerah sangat minim sekali yang berorientasi untuk mengentaskan problem perumahan di wilayahnya," ujarnya.
Kelima, mengentaskan hambatan distributif, pemerintah perlu memetakan kelompok masyarakat berdasarkan tingkat penghasilan, pekerjaan dan daerah yang diterjemahkan dalam bentuk kelompok masyarakat yang belum memiliki rumah.
"Kemudian membuka, mempermudah dan menyediakan akses untuk mendapatkan perumahan bagi MBR dan masyarakat yang tidak mampu berdasarkan kelompok kemampuan masyarakat termasuk meningkatkan kemampuannya atau penghasilannya," jelasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan tak Ingin Hambat Tukar Guling Saham Telkom
Redaktur : Tim Redaksi