jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Adi Prayitno menilai, gonta ganti pasangan dan pengumuman nama calon kepala daerah yang diusung di detik-detik akhir pendaftaran, memperlihatkan penjajakan koalisi yang dilakukan partai politik tidak terlalu solid.
Selain itu, juga memperlihatkan kalkulasi parpol tidak terlalu matang dan adanya pergerakan politik yang sangat dinamis.
BACA JUGA: Banyak Parpol Oleng, Terancam Tak Ikut Pemilu 2019
Contoh paling nyata di Pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Partai NasDem yang sebelumnya mengusung Tengku Erry Nuradi, tiba menarik dukungan dan mengalihkannya ke Edy Rahmayadi.
"Tak ada yang menyangka, Edy ternyata lebih memiliki daya magnet elektoral ketimbang calon lain," ujar Adi di Jakarta, Jumat (12/1).
BACA JUGA: OSO: Kalau Enggak Sepaham Ya Pindah
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini juga melihat, kenyataan yang ada menunjukkan tidak ada kesepahaman bersama antara parpol dengan calon yang bakal diusung.
Misalnya di Pilgub Jabar, PKS mencabut dukungan dari Deddy Mizwar, karena Deddy punya kesepatan tersembunyi untuk mendukung calon presiden dari Demokrat di Pemilu 2019.
BACA JUGA: Puja Kessuma Harus Memegang Teguh Falsafah Tunggal Sekapal
"Kenyataan yang terjadi di Pilkada 2018 menunjukkan banyak partai tak konfident, bahkan gagal mengusung paslon. Misalnya poros Gerindra, PKS, PAN di Jatim, bubar karena paslon tak mendapat respons yang cukup baik dari publik. Akhirnya, tiga parpol ini membelah dukung dua paslon yang diusung koalisi parpol lain," katanya.
Menurut pengajar di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta ini, kondisi yang terjadi di Pilkada 2018 juga menunjukkan, tak ada sekat-sekat idiologis parpol.
"Buktinya, parpol blok pemerintah dan blok oposisi dalam banyak pilkada bisa bergandengan tangan. Di Jatim, PKS dan Gerindra malah bersatu di barisan Gus Ipul. Di Jateng Demokrat dan PDIP malah mesra," pungkas Adi.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Angky Berjanji Bikin Maluku Tenggara Makin Makmur
Redaktur & Reporter : Ken Girsang