jpnn.com - JAKARTA - Konsorsium LSM Pemantau Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (KLPC) membeberkan titik rawan kecurangan seleksi CPNS. Hal ini berdasarkan pengalaman rekrutmen CPNS tahun-tahun sebelumnya.
Anggota KLPC, Siti Juliantari Rachman menyatakan, setidaknya ada sembilan titik rawan seleksi CPNS. Pertama kata dia, pelamar tidak memenuhi kriteria sebagai honorer K2. Peserta honorer K2 merupakan pegawai honorer yang bekerja pada instansi pemerintah pusat dan daerah yang telah bekerja minimal satu tahun sebelum 31 Desember 2005.
BACA JUGA: Persaingan Ketat, Awasi Pejabat!
"Untuk K2 yang rawan adalah data tenaga honorer dimanipulasi. Misalnya saja, baru jadi honorer 2008. Dia sebenarnya tidak bisa ikut seleksi, namun dimanipulasi agar bisa ikut," kata Tari dalam konferensi pers di kantor ICW, Jakarta, Minggu (1/9).
Selanjutnya, untuk memperkecil pesaing dalam seleksi CPNS, seringkalo dilakukan diskriminasi pada seleksi administrasi bagi pelamat tertentu terkait dengan nomor ujian dan lokasi ujian. Selain itu, pada proses seleksi administrasi rawan pungutan liar oleh pihak-pihak tertentu.
BACA JUGA: Organisasi Buruh Tolak Rencana Penerbitan Inpres UMP
"Pada tingkat pendaftaran masih ditemukan ditemukan manipulasi. Calo-calo mendatangi untuk membantu meluluskan dengan meminta uang Rp 80-120 juta supaya bisa menjadi PNS," kata Tari.
Saling menitip pelamar oleh pejabat atu pihak tertentu lanjut dia, juga menjadi titik rawan seleksi CPNS. Tari mencontohkan, kepala daerah atau pejabat instansi A menitipkan kerabat atau temannya pada rekrutmen CPNS di suatu daerah.
BACA JUGA: Penerbitan Inpres Pengatur UMP Ditentang Pekerja
Kemudian kata Tari, titik rawan selanjutnya mengenai adanya kebocoran soal tes. Kebocoran ini terkait penggandaan dan distribusi soal dari perusahaan sampai pada lokasi ujian. Beberapa motif kebocoran antara lain, adanya perilaku kolektif tim panitia di daerah atau pusat untuk meloloskan orang tertentu atau menjual kunci jawaban.
"Kerawanan ini juga terjadi pada saat kasus Ujian Nasional. Ada kunci jawaban beredar ketika test dan soal bocor," kata peneliti ICW ini.
Praktek perjokian lanjut Tari, juga menjadi titik rawan seleksi CPNS. Joki biasanya menggantikan pelamar sebenarnya pada saat tes. Mereka juga bisa hanya mendampingi dalam ruang ujian.
Titik rawan seleksi CPNS selanjutnya menurut Tari, yaitu pengisian kembali lembar jawaban kerja pelamar tertentu oleh pihak lain setelah pelaksanaan tes. Hal ini bisa terjadi apabila kunci jawaban itu belum disegel.
"Setelah tes berlangsung juga bisa terjadi masalah. Misalnya saja kunci jawaban LJK yang dikirim ke pusat ternyata belum disegel sehingga jawaban bisa diubah," kata Tari.
Titik rawan seleksi CPNS selanjutnya menurut dia, yakni ada pemerasan atau praktek suap oleh pejabat atau pihak tertentu untuk meloloskan seseorang atau sejumlah pelamar. Sehingga bisa dikatakan seleksi CPNS juga sarat politis. "Pegawai yang direkrut dekat dengan bupati," kata Tari.
Adanya penambahan pelamar yang lolos tes pada pengumuman resmi di pemerintah daerah juga menjadi titik rawan seleksi CPNS. "Ada orang yang dinyatakan lulus oleh pemerintah pusat. Nama-namanya ditampilkan di website. Namun pada saat di daerah berubah. Misalnya ada 200 orang lulus tapi 90 orang namanya diganti. Itu kerap terjadi," katanya.
Terakhir menurut Tari, adanya CPNS yang mendapatkan nomor induk pegawai meski tidak mengikuti proses seleksi. "Ketika CPNS sudah lulus masih terjadi permainan untuk mendapat NIP," katanya.
KLPC kata Tari, yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah, Malang Corruption Watch, POKJA 30 Samarinda, Masyarakat Transparansi Banten, dan Sentra Advokasi Untuk Hak Pendidikan Rakyat juga meminta masyarakat ikut memantau proses seleksi.
"Selain kami yang memantau proses seleksi, kami mengimbau masyarakat ikut memantau. Kalau ada kecurangan masyarakat bisa menghubungi kami," kata Tari. Publik bisa melaporkan kecurangan pada situs https://pantaucpns.net dan https://siduta.menpan.go.I'd. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Petrus Merajalela, Aparat Dinilai Tak Berdaya
Redaktur : Tim Redaksi