jpnn.com - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Ciptaker telah disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sejumlah pasal dalam klaster ketenagakerjaan UU Ciptaker disebut-sebut menuai kontroversi.
Salah satunya adalah yang mengatur soal pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan. Klaster ketenagakerjaan ini merupakan perubahan dari UU UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 81 UU Ciptaker.
BACA JUGA: Pak Ganjar Lega tak Banyak yang Ikut Aksi Mogok Nasional Tolak UU Cipta Kerja
Dikutip dari naskah UU Ciptaker, di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan satu pasal yakni Pasal 154A. Adapun bunyi Pasal 154A Ayat 1 adalah pemutusan kerja dapat terjadi karena alasan:
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan.
BACA JUGA: Aturan Pesangon Buruh Terkena PHK di UU Cipta Kerja
b. perusahaan melakukan efisiensi.
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian.
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja Bawa Indonesia ke Era Penyiaran Digital
d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur.
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
f. perusahaan pailit.
g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh.
h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
i. pekerja/buruh mangkir.
j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib.
l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.
m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
n. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 154A Ayat 2 menyatakan bahwa selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Selain itu, Ayat 3 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, bila mengacu UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 154 menyatakan bahwa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelulmnya.
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peratauran perundangundangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 154A Ayat 2 menyatakan bahwa Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sementara Ayat 3 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
UU Ciptaker juga menghapus Pasal 155 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Sementara itu bila mengacu pada Pasal 154 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 154 menyatakan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 Ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peratauran perundangundangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia. Pasal 155 (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
Pasal 155 Ayat 2 menyatakan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Untuk Ayat 3, berbunyi pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Untuk diketahui, Pasal 151 Ayat 3 menyatakan (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Ketua Panja RUU Ciptaker yang juga Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa RUU Ciptaker merupakan RUU yang disusun dengan menggunakan metode Omnibus Law yang terdiri dari 15 Bab dan 174 Pasal yang berdampak terhadap 1203 Pasal dari 79 UU terkait dan terbagi dalam 7197 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
RUU tentang Cipta Kerja hasil pembahasan terdiri dari 15 Bab dan 185 Pasal. “Yang berarti, mengalami perubahan dari sebelumnya 15 bab dan 174 Pasal,” kata Supratman membacakan laporan hasil pembahasan dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10). (boy/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Boy