jpnn.com - JAKARTA - Sikap Presiden Joko Widodo yang enggan menemui para ulama perwakilan massa Aksi Bela Islam II di depan Istana Negara, Jumat (4/11) menjadi sorotan banyak kalangan.
Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago bahkan menyebut presiden yang beken disapa dengan panggilan Jokowi itu terkesan tidak berani bertemu dengan rakyatnya sendiri.
BACA JUGA: Demo 4 November Rusuh, 21 Kendaraan TNI-Polri Rusak
Pangi mengatakan, mestinya dalam demokrasi malah antara rakyat dan pemerintah yang berkuasa tidak berjarak. Sebab, demokrasi dari dua kata yakni kratos yang berarti kekuasaan (presiden) dan demos yang berarti rakyat.
"Rakyat dengan pemimpin itu ibarat air dengan ikan, nggak boleh ada jarak," ujar Pangi, Sabtu (5/11).
BACA JUGA: Terduga Provokator Aksi 4/11 Masih Diperiksa
Menurutnya, ada beberapa kesalahan Presiden Jokowi dalam menyikapi Aksi Bela Islam II yang patut disayangkan. Pertama, katanya, Jokowi gagal berdiri di atas semua kepentingan kelompok dan golongan.
Padahal, Proklamator RI Soekarno pernah menerima segelintir pendemo untuk diajak berdialog. Sedangkan Jokowi yang didemo ratusan ribu rakyatnya justru malah pergi.
BACA JUGA: Hendardi: Segera Proses Aktor Lapangan Aksi 4 November
"Kita masih ingat dengan istilah vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Sepuluh orang saja yang menghadap menyampaikan aspirasi dan kehendaknya, Soekarno tetap menemui rakyatnya. Apalagi ini ratusan ribu rakyatnya yang ingin bertemu presiden," terangnya.
Menurut Pangi, yang penting adalah kehadiran presiden di tengah masyarakat dengan menemui aksi demontrasi itu. “Ini soal bagaimana fatsun politik tuan raja menemui dan memperlakukan warganya," ucapnya.
Kedua, Jokowi tidak memahami skala prioritas. Di saat rakyat mengunjungi Istana dan ingin bertemu Jokowi, mantan gubernur DKI itu malah memilih mengunjungi proyek pembangunan kereta api Bandara Soekarno Hatta.
Dalam pandangan Pangi, ternyata proyek kereta Soekarno Hatta jauh lebih penting bagi Jokowi ketimbang bertemu rakyatnya. Jikowi justru mengutus Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri untuk menemui pendemo.
Ketiga, presiden diduga melanggar sumpah jabatan dan janji konstitusi yang pernah diucapkan dulu. Sebab, presiden gagal berdiri secara adil di atas semua kelompok dan golongan.
Pangi menambahkan, ketika presiden sudah merasa paling kuat dan berkuasa, maka itulah titik kelemahannya. Belajar dari sejarah, katanya, Soeharto dengan latar belakang dari jenderal, punya loyalis siap mati, intelijen dan militernya kuat, ternyata tumbang setelah 32 tahun berkuasa katena mengabaikan suara dan kehendak rakyat.
"Presiden Jokowi gagal dalam mengurai silang sengkarut persoalan mendasar yang dihadapi rakyat. Kepemimpinan yang mengabaikan keresahan umat mayoritas. Saya ingin memberi makna dan konteks soal kepemimpinan, pemimpin itu mutlak dicintai rakyatnya dan rakyat pun mencintainya," pungkas Pangi.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politikus PKS Nilai Jokowi Diskriminatif
Redaktur : Tim Redaksi