Inilah Sederet Catatan Drh Slamet untuk Program Pupuk Bersubsidi dan Kartu Tani

Senin, 18 Januari 2021 – 23:25 WIB
Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang juga Ketua Poksi komisi IV, drh Slamet. Foto: Dok. Humas DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena menjadi ujung tombak ketahanan pangan di Indonesia. Perhatian pemerintah salah satunya melalui pemberian pupuk bersubsidi kepada para pejuang pangan atau petani.

Namun dalam pendistribusian dan pemanfaatannya, masih banyak menuai permasalahan, antara lain pupuk yang langka di pasaran, pupuk subsidi dibagikan diwaktu yang tidak tepat, pembagian pupuk bersubsidi tidak tepat sasaran sehingga pembagian menggunakan kartu tani yang dinilai masih mempersulit petani. Dan satu lagi persoalan kartu tani yang bermasalah.

BACA JUGA: Akademisi UGM: Kartu Tani Membuat Distribusi Pupuk Lebih Tepat Sasaran

Berkaitan dengan hal itu, Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang juga Ketua Poksi komisi IV, drh Slamet mengatakan, dalam acara pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2021 di Istana Negara Jakarta pada Senin, 11 Januari 2021 lalu, Presiden Joko Widodo mempertanyakan imbal balik dari besarnya subsidi pupuk yang diberikan negara selama ini.

Pada tahun 2018 anggaran subsidi pupuk turun menjadi Rp 28,5 triliun. Kemudian pada 2019 pemerintah mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 9,55 juta ton dengan anggaran sebesar Rp 29 triliun. Lalu pada 2020 alokasi pupuk subsidi 2020 menjadi 8,9 juta ton atau senilai Rp 29,7 triliun.

BACA JUGA: LaNyalla: Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Pupuk Bersubsidi

Terkait pertanyaan Presiden Joko Widodo tersebut, Slamet mempertanyakan jawaban dan upaya dari Kementerian Pertanian.

Dia juga memaparkan, perbandingan anggaran pupuk bersubsidi di era pemerintahan SBY tahun 2005 sebesar Rp 2,53 triliun, tahun 2006 sebesar Rp 3,17 triliun, 2007 sebesar Rp 6,28 triliun, tahun 2008 sebesar 15,18 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 18,33 triliun, tahun 2010 sebesar Rp 18,41 triliun, tahun 2011 sebesar Rp 16,34 triliun, tahun 2012 sebesar Rp 13,96 triliun, tahun 2013 sebesar Rp 17,62 triliun dan tahun 2014 sebesar Rp 21,05 triliun.

BACA JUGA: Kejahatan TSL Makin Mengkhawatirkan, Andi Akmal DPR: Perlu Penguatan Regulasi

Sementara di era pemerintahan Jokowi, tahun 2015 sebesar Rp 31,3 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 30,06 triliun, tahun 2017 sebesar Rp 31,15 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 33,6 triliun, tahun 2019 sebesar Rp 29 triliun, 2020 sebesar Rp 29,7 triliun, dan 2021 sebesar Rp 25,27 triliun.

“Tren anggaran pupuk bersubsidi di era pemerintahan Jokowi terus mengalami penurunan. Hal ini perlu dibongkar akar permasalahannya, apakah ada potensi korupsi atau permasalahan lainnya? Jika ada potensi korupsi dan permasalahan lainnya, maka perlu dibongkar bersama titik korupsi dan permasalahannya," kata Slamet  di sela-sela rapat dengar pendapat (RDP) tentang Penyaluran pupuk bersubsidi dan penggunaan kartu petani, Senin (18/1/2021).

“Selama 10 tahun, rata-rata perbandingan peningkatan jumlah subsidi pupuk tidak sebanding dengan peningkatan produksi yang saat ini hanya mencapai 30,9 persen dan peningkatan produktivitas yang saat ini hanya mencapai 13,2 persen. Salah satu penyebabnya adalah dalam pendistribusian dan pemanfaatan pupuk bersubsidi yang belum tepat sasaran," tambah Slamet.

Kementerian Pertanian juga telah menerbitkan Permentan Nomor 49 tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi sektor pertanian tahun anggaran 2021.

Dalam peraturan tersebut, harga pupuk urea yang semula Rp 1.800 per kilogram, naik Rp 450 menjadi Rp 2.250 per kilogram, lalu pupuk SP-36 dari HET Rp 2.000 per kilogram naik Rp 400 sehingga menjadi Rp 2.400 per kilogram.

Sementara itu, pupuk ZA mengalami kenaikan Rp 300 menjadi Rp 1.700 per kilogram dan pupuk organik granul naik sebesar Rp 300, dari yang semula Rp 500 per kilogram menjadi Rp 800 per kilogram. Hanya pupuk jenis NPK yang tidak mengalami kenaikan HET dan tetap Rp 2.300 per kilogram.

"Perlu keterusterangan pemerintah dan tidak tipu-tipu terkait kenaikan HET pupuk bersubsidi, karena kelangkaan pupuk bersubsidi pasti terjadi disebabkan anggaran pemerintah hanya sekitar 30 persen dari RDKK yang ada," jelas Slamet.

"Sudah HET nya naik, pupuk subsidi langka di petani. Menurut Ketua Umum KTNA Winarno Tohir yang disampaikan dalam FGD Ketahanan Pangan DPP PKS pada 24 September 2020, bahwa pupuk subsidi sulit didapat di mana-mana di seluruh Indonesia yang akan berpengaruh pada produksi tahun 2021 (musim tanam Oktober 2020-Maret 2021). Hampir dipastikan produksi padi menurun dan Indonesia akan kekurangan beras," katanya menambahkan.

Slamet menyebut, kajian dampak subsidi pupuk yang dilakukan Pusat Studi Ekonomi dan Kajian Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian menyatakan bahwa di beberapa daerah ada kecenderungan penggunaan pupuk yang melebihi dosis.

Penggunaan pupuk yang melebihi dosis justru akan berdampak tidak signifikan untuk peningkatan produksi. Berdasarkan data BPS, sebanyak 51,91 persen petani belum memupuk sesuai dosis anjuran sehingga kenaikan produktivitas sangat lambat.

“Dari Kajian PSEKP tersebut, bagaimana evaluasi Kementerian Pertanian terkait pembinaan petani dalam pemanfaatan atau penggunaan pupuk? Tolong jelaskan berapa persen daerah yang cenderung menggunakan pupuk subsidi melebihi dosis? Lebih banyak mana dengan daerah yang menggunakan pupuk sesuai dosis? Jika lebih banyak yang cenderung menggunakan pupuk melebihi dosis yang direkomendasikan, bisa jadi ini yang menjadi akar permasalahan langkanya pupuk. Jadi pupuk langka di daerah tertentu dan penggunaan berlebihan di daerah yang lain," paparnya.

Oleh karena itu, Slamet melanjutkan, fraksinya meminta Kementerian Pertanian untuk meninjau kembali kenaikan HET pupuk bersubsidi dan mendalami kajian dampak pupuk subsidi yang efektif untuk petani.

Kemudian merumuskan kebijakan dari kajian tersebut terutama terkait jumlah kuota dan penggunaan yang melebihi dosis. Sehingga bisa diketahui akar permasalahan pupuk subsidi, apakah masalahnya di kelangkaan atau penggunaan yang tidak tepat dosis.

Tak hanya itu, Slamet juga menyebut pihaknya mendorong Kementerian Pertanian untuk lebih massif melakukan penyuluhan kepada petani terkait penggunaan pupuk subsidi tepat dosis. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) untuk meningkatkan lagi edukasi kepada petani tentang pentingnya melakukan pemupukan sesuai dengan dosis anjuran.

Selain itu, sambung Slamet, hal lainnya yaitu Rencana penerapan Kartu Tani secara serentak dinilai belum siap dilakukan karena masih terdapat beberapa permasalahan dilapangan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu.

”Ketersediaan pupuk bersubsidi sesuai RDKK yang sampai sekarang belum sesuai kebutuhan, ketersediaan EDC (Electronic Data Capture) yang belum semua kios pupuk menyediakan dan SDM petani yang perlu pemahaman terkait Kartu Tani dan cara penggunaannya, serta masalah lainnya,” katanya.

“Fraksi PKS meminta Kementerian Pertanian agar tidak terburu-buru dan melakukan penerapan Kartu Tani secara bertahap bagi daerah yang sudah siap,”tegasnya.

Jangan sampai karena Kartu Tani menghambat pelaksanaan Masa Tanam Oktober 2020 - Maret 2021. Sehingga berdampak pada penurunan produksi beras.(fri/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler