jpnn.com - Farah Andita Ramdhani adalah salah seorang di balik layar hubungan baik Surabaya dengan kota-kota di luar negeri. Dia punya peran penting sebagai jembatan lalu lintas bahasa. Farah bertugas sebagai interpreter senior dalam kegiatan dinas di Pemkot Surabaya.
= = = = = = = = = = = = = =
BACA JUGA: Tinggalkan Visi Sepak Bola Indonesia, Thailand Tatap Asia dan Dunia
MASIH lekat dalam ingatan Farah Ardita Ramdhani awal mula berkarir di dunia alih bahasa. Suatu hari di pengujung 2009, dia dihubungi sahabatnya. Ada keperluan mendadak yang harus diselesaikan. Dia sebenarnya bisa saja meminta maaf karena tidak bisa membantu untuk menjadi interpreter. Tapi, yang meminta tolong itu sahabatnya yang ke sana-kemari mengikuti lomba debat bahasa Inggris bersama.
”Itu pengalaman pertama dan saya bertugas sendirian,” ujar Farah sambil mengingat-ingat kejadian di Balai Kota Surabaya itu. Tegang, tentu saja. Gugup, sudah pasti iya. Farah merasakan hal itu lantaran belum punya pengalaman sekali pun menjadi penerjemah bahasa untuk sebuah acara formal. ”Ini tidak sembarangan,” tambah perempuan kelahiran Sidoarjo, 27 tahun lalu, tersebut.
BACA JUGA: Kisah Gitaris Slank yang Berjuang dengan Ginjal Tinggal 3 Persen
Apalagi, orang yang harus dia terjemahkan ucapannya adalah wali kota saat itu Bambang Dwi Hartono. Tamunya adalah para duta besar dari negara sahabat yang datang ke Surabaya untuk melihat perkembangan Kota Pahlawan. Urusan diplomatik bisa runyam kalau penerjemahan bahasa tidak tertangani dengan baik. Farah menyadari tugas berat yang dia pikul.
Sehari sebelum beraksi, dia mendapatkan bimbingan terlebih dahulu dari Kepala Bagian Kerja Sama Pemkot Surabaya saat itu Ifron Hadi Susanto. Dia diajari soal sister city, data-data demografi Surabaya, berbagai inovasi pemerintahan, serta informasi lain terkait dengan hubungan luar negeri. ”Dari pagi sampai sore belajar kilat,” ujar dia.
BACA JUGA: Sang Kapten Menangis, tapi Alhamdulillah...Istri Lahirkan Lima Bayi Kembar
Malam sebelum momen penting itu, Farah berharap-harap cemas. Dia khawatir tidak bisa tampil maksimal. Tapi, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menjalani sebaik-baiknya. ”Bagaimanapun, saya harus berusaha maksimal,” tambah dia.
Kekhawatiran perempuan yang berulang tahun setiap 4 Mei tersebut ternyata tidak terjadi. Tugas pertamanya berakhir sukses. Farah dengan lancar mengalihbahasakan semua pembahasan pada hari itu. Lalu lintas komunikasi dua bahasa, Inggris-Indonesia, tersebut bisa berlangsung dengan baik. Dia mendapat pujian dari bapak wali kota. ”Diapresiasi, bagus katanya,” ujar Farah.
Farah yang saat itu menunggu wisuda strata satu Jurusan Sastra Inggris Universitas Airlangga tidak menyangka hari itu bakal menjadi awal babak baru dalam karirnya. Kemudian dia berulang-ulang diminta menjadi penerjemah. Lulus kuliah, dia pun melamar menjadi tenaga kontrak di Pemkot Surabaya pada 2010. Tahun lalu dia resmi diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan bertugas di sub bagian kerja sama luar negeri.
Farah mengatakan mantap menjadi abdi negara meski tahu betul bahwa seorang interpreter punya peluang lebih bagus di perusahaan swasta, terutama dari segi finansial. Ada satu hal yang membuat dia begitu sadar pada posisinya saat ini.
Perkara diplomasi dua negara yang berbeda bahasa itu bukan hal remeh temeh. ”Kalau semua orang yang hebat bekerja di swasta, bagaimana pengelolaan pemerintahan negara,” ujarnya tentang alasan dirinya tetap mau bertahan menjadi PNS.
Bukan perkara mudah menjaga kemampuan dalam berbahasa. Farah rajin mengasah kemampuan dengan membaca artikel dan berita berbahasa Inggris. Isu-isu terkini terkait dengan Surabaya dan Indonesia yang masuk dalam pantauan dunia dia ikuti dengan cermat. Kemampuan dialeknya juga dilatih tiap hari lantaran kerap menerima telepon dari kedutaan atau luar negeri. ”Tiap hari bahasa Inggris saya terpakai,” ujar Farah.
Dia menghadapi tantangan besar saat menjadi interpreter bagi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Farah harus mengimbangi kemampuan bahasanya untuk menerjemahkan konsep-konsep pembangunan Kota Surabaya seperti yang ingin diwujudkan Risma.
Sering kali Farah sulit menerjemahkan konsep yang kadang dijelaskan dengan begitu detail. Dia tahu betul Risma adalah mantan kepala badan perencanaan pembangunan kota (bappeko) yang paham seluk-beluk urusan kota. Mulai hulu sampai hilir. Risma juga merupakan alumnus Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Sementara itu, Farah bukan orang teknik. Alumnus SMAN 1 Sidoarjo tersebut melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Airlangga. ”Itu memacu saya untuk terus belajar. Kadang saya ke bappeko juga untuk belajar tentang perkembangan kota,” tambahnya.
Meski demikian, kadang dia masih menemukan kata-kata yang sulit untuk dicari padanannya. Sebut saja istilah tandon air. Saat menerjemahkan kata itu, dia menggunakan istilah tempat atau wadah penyimpanan air.
Terkadang, dia sebenarnya mengerti istilah tersebut secara langsung, tapi saat ingin diucapkan tidak mau keluar. Biasanya kondisi seperti itu terjadi saat kelelahan melanda. Dia menjadi penerjemah sejak pagi hingga sore secara terus-menerus.
Pernah suatu hari dia menjadi interpreter saat Risma bertemu dengan tamu asing. Pokok bahasan berkaitan dengan aplikasi keuangan yang dimiliki Pemkot Surabaya. Namanya e-budgeting. Aplikasi itu digunakan untuk perencanaan anggaran di lingkungan internal pemkot. Sempat tertukar kata expenditure (pengeluaran) dengan revenue (pendapatan). ”Bu Risma langsung membenarkan itu,” katanya tersipu malu.
Pernah pula suatu ketika dalam forum internasional, Farah miskomunikasi. Dia sudah kadung terbiasa mendengarkan Risma memaparkan konsep secara utuh, baru setelah itu diterjemahkan.
Tapi, saat itu baru satu kalimat, Risma berhenti berbicara. Biasanya satu paragraf baru berhenti berbicara untuk kemudian diterjemahkan. Farah pun diam saja. ”Sampai Bu Risma panggil saya, Mbak agak keras. Baru saya terjemahkan satu kalimat itu,” tambahnya.
Yang selalu dia ingat, pada saat menjadi interpreter dalam pertemuan wali kota Surabaya dengan tamu-tamu dari negara lain, pasti ada yang baru. Risma kerap mengungkapkan gagasan terkini terkait dengan kota. Mulai transportasi, lingkungan, hingga kondisi perekonomian. ”Menunggu-nunggu nanti akan ngomong apa lagi ya,” ujar Farah.
Sejauh ini Farah memang selalu menjadi andalan dalam setiap pertemuan pemkot dengan tamu dari luar negeri. Itulah yang membuat dia diajak ke mana-mana bila pemkot punya acara khusus yang berkaitan dengan diplomasi kota. Itu pula yang membuat dia bangga dengan posisinya saat ini.
Dia juga pernah mendapat pujian dari Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Rob Swartbol. Bahkan, dia ditawari untuk bekerja di kedutaan.
Namun, Farah menolak. Dia sudah betah bakerja di pemkot. Dia pernah diajak ke Jerman dan berada dalam satu ruangan dengan Kanselir Jerman Angela Merkel. ”Kalau bukan sebagai interpreter di pemkot, mungkin saya tidak bisa ke luar negeri,” kata perempuan yang kini dalam tugasnya sudah mempunyai satu rekan kerja baru itu. Sebelumnya, dia memang bertugas sendirian.
Ibunda bayi Ghozi Keenandra Laqif yang masih berusia tujuh bulan tersebut menuturkan, dukungan keluarga juga menjadi motivasi tersendiri. Suaminya selalu memberikan support. ”Pulang malam boleh, tentu harus izin dulu,” ujar anak kedua di antara empat bersaudara yang sedang giat belajar bahasa Jepang itu. (*/c7/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Thomas Djamaluddin, Kepala Lapan Bergelar Spesialis Rukyat Ramadan
Redaktur : Tim Redaksi