Investasi Masuk Usai Pilpres

Jumat, 18 Juli 2014 – 05:21 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Ketatnya persaingan pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa menuju kursi RI 1 dan RI 2, sempat membuat investor dag dig dug menunggu keputusan final siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Ekonom Citibank Indonesia Helmi Arman mengatakan, fokus para calon presiden pada pembangunan infrastruktur menjadi sentimen positif bagi investor. Pasalnya, infrastruktur selama ini selalu menjadi titik lemah ekonomi Indonesia. "Karena itu, usai Pilpres, ekonomi dan investasi akan bangkit,' ujarnya kemarin (17/7).

BACA JUGA: Jelang Mudik dan Lebaran, Pertamina Pastikan Pasokan BBM dan LPG Aman

Menurut Helmi, visi ekonomi jangka panjang untuk 15-20 tahun ke depan menjadi hal yang wajib dimiliki oleh pemerintahan baru. Dengan pertumbuhan global yang melambat, reformasi struktural dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan perekonomian di atas 5 persen. "Karena itu, butuh penguatan sektor-sektor berorientasi ekspor sebagai sumber devisa," katanya.

Helmi menyebut, dengan sorotan dan perhatian yang diberikan oleh masyarakat internasional, Pilpres 2014 juga bisa memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengukuhkan posisinya di mata dunia yang telah dibangun oleh pemerintah saat ini, sekaligus memastikan keberlangsungan dukungan dari pihak luar untuk tetap terjalin dengan pemerintahan yang baru. "Proses Pilpres yang lancar tentu mendapat penilaian positif investor," ucapnya.

BACA JUGA: Jangan Teriak Jika Perbankan Asing Tumbuh Besar di Indonesia

Harsya Prasetyo, Head of Sales and Marketing PT. First State Investments Indonesia, turut menyampaikan optimismenya terhadap kemampuan Presiden terpilih untuk melanjutkan perbaikan kondisi makro ekonomi Indonesia. "Karena itu, para investor yang tadinya wait and see akan mulai berinvestasi kembali," ujarnya.

Khusus untuk pasar modal, Presiden Direktur PT. BNP Paribas Investment Partners Vivian Secakusuma mengatakan, menjelang hasil resmi pemilihan Presiden pada 22 Juli oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), valuasi pasar saham saat ini sebenarnya masih berada dalam level yang wajar dan masih jauh di bawah level tahun 2008. "Secara regional, Return on Equity dari emiten Indonesia pun masih merupakan yang tertinggi," katanya.

BACA JUGA: Dahlan Heran Bila Dirut BUMN Masih Cari Objekan

Karena itu, lanjut Vivian, masih ada ruang bagi saham-saham di Indonesia untuk berkinerja lebih baik. Sementara, hasil Pilpres 2014 dan perbaikan kondisi makro dapat menjadi katalis positif untuk mendorong harga saham.

"Dalam kondisi seperti ini, produk investasi dengan tema infrastruktur yang memiliki strategi bottom up dapat memberikan potensi kenaikan nilai investasi dari pertumbuhan pendapatan kelas menengah dan meningkatnya belanja infrastruktur," jelasnya.

RI Waspadai Risiko Internal-Eksternal

Solidnya kinerja perekonomian tak lantas membuat Indonesia bebas risiko. Hasil kajian rutin Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menunjukkan ekonomi Indonesia masih dibayangi berbagai risiko.

Menteri Keuangan yang juga Ketua FKSSK Chatib Basri mengatakan, pemerintah terus mewaspadai risiko internal maupun eksternal yang berpotensi mendera perekonomian Indonesia. "Fundamental ekonomi kita cukup bagus, tapi memang ada risiko-risiko yang harus dimitigasi," ujarnya usai rapat FKSSK kemarin (17/7).

FKSSK merupakan forum yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Menurut Chatib, dari sisi internal, pemerintah mewaspadai risiko melebarnya defisit fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2014, defisit transaksi berjalan atau current account deficit, serta mengetatnya likuiditas perbankan.

Chatib mengatakan, pemerintah akan fokus dalam pengendalian konsumsi BBM subsidi dengan kuota 46 juta kiloliter, lebih rendah dari proyeksi 48 juta kiloliter. Hal itu dimaksudkan sekaligus untuk meredam risiko fiskal akibat membengkaknya beban subsidi, maupun menekan defisit transaksi berjalan akibat naiknya impor BBM. 'Untuk current account deficit, kita targetkan bisa di bawah 3 persen (produk domestik bruto) pada akhir tahun ini,' katanya.

Risiko internal lain yang diwaspadai adalah tren naiknya utang luar negeri pemerintah dan swasta yang per akhir Mei 2014 mencapai USD 283,7 miliar, dengan USD 151,5 miliar diantaranya adalah utang swasta. "Karena itu, koordinasi pengelolaan utang luar negeri ini sangat penting untuk menghindari risiko akibat gejolak nilai tukar," ucapnya.

Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, data BI per akhir 2013 menunjukkan, ada 88 perusahaan swasta yang memiliki utang valas hingga USD 71 miliar yang sama sekali tidak melakukan hedging. Adapun 12 perusahaan lainnya yang memiliki utang valas USD 5,5 miliar sudah melakukan hedging dengan nilai total USD 3,9 miliar.

Menurut Agus, perusahaan pemilik utang valas selalu terpapar risiko tinggi apabila pendapatannya dalam rupiah. Sebab, ketika rupiah melemah, maka perusahaan tersebut harus membayar utang dalam denominasi USD dengan jumlah rupiah yang jauh lebih besar.

"Untungnya, dari 88 perusahaan yang tidak hedging itu, 21 diantaranya adalah eksporter (pemasukan dalam USD) sehingga mereka melakukan hedging secara natural, tapi masih saja berisiko," katanya.

Sementara itu, dari sisi eksternal, Chatib menyebut jika FKSSK menyoroti risiko gejolak pasar keuangan global akibat aksi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed, perlambatan ekonomi Tiongkok, serta berlanjutnya penurunan harga komoditas. "Untuk itu, pemerintah selalu waspada untuk menjaga stabilitas sektor keuangan," ucapnya. (owi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Sempat Kesulitan Cari Orang sebagai Dirut Sarinah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler