jpnn.com - JAKARTA - Ketua Bidang Pengembangan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Parni Hadi menyatakan, bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi
penyebab utama berbagai masalah haji di Indonesia. Sebab, undang-undang itu tidak memisahkan antara regulator dan operator.
BACA JUGA: Ini Pertimbangan MK Batalkan UU MK
"Regulatornya Kementerian Agama dan operatornya juga Kementerian Agama," kata Parni dalam diskusi "Pengelolaan Dana Haji" di press room DPR, Senayan Jakarta, Kamis (13/2).
Mestinya, lanjut Parni, kalau Kemenag bertindak sebagai regulator maka operatornya harus badan lain yang langsung di bawah presiden. Parni menyarankan badan itu tak perlu diisi dengan birokrasi. "Di dalam badan tersebut tidak usah ada pegawai negeri sipil biar mudah dikontrol," sarannya.
BACA JUGA: Tak Takut Diserang, Marzuki Alie Sindir Blusukan Jokowi
Parni menambahkan, ide mengenai pemisahan regulator dengan operator itu sudah pernah diusulkan IPHI ke DPR terkait revisi UU Haji. "Tapi hingga sekarang pembahasannya saja tidak pernah selesai," tegasnya.
Lebih lanjut mantan Kepala LKBN Antara itu menambahkan, hal yang selalu menjadi sorotan adalah uang nasabah calon haji yang bertahun-tahun disimpan di bank. "Saya tidak sebut bunga bank. Itulah masalahnya, dana tersebut ada di rekening menteri agama. Penggunaannya dikhawatirkan bisa jadi sumber kegiatan politik. Saya tidak menuduh," ujarnya,
BACA JUGA: Dahlan Iskan Siapkan Konsep Gotong Royong Abad 21
Parni menambahkan, terpusatnya urusan haji di kemenag menjadi pola pengawasannya sulit. Ia mencontohkan seorang calon haji yang berada dalam posisi menunggu 10 tahun namun telah menyetorkan dananya sekitar Rp 25 juta. Namun hingga 10 tahun, tetap saja nilai nominal uangnya sama.
"Padahal kalau dihitung pertumbuhan dana tersebut, calon jamaah Haji mestinya tidak menambah lagi. Ini juga tidak bisa dikontrol," pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setiap Tahun Anggaran Negara Bocor Rp 1.000 T
Redaktur : Tim Redaksi