IPW Ingatkan Elit Polri Jangan Terlalu Cari Muka ke Penguasa

Selasa, 03 November 2015 – 14:33 WIB
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane. FOTO. DOK.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane mengingatkan elit Polri tidak terlalu mencari muka ke penguasa terkait penyebaran foto Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Suku Anak Dalam. Polri, menurut Neta, tetap harus menegakkan hukum secara profesionalisme.

“Saya melihat para elit Polri sedang mencari muka ke penguasa terkait penyebaran foto Jokowi dengan Suku Anak Dalam. Hal seperti ini harus dihentikan karena bisa merusak profesionalisme Polri,” kata Neta S Pane, saat dihubungi wartawan, Selasa (3/11).

BACA JUGA: Irman Gusman Sebut Sistem Parlemen Indonesia dan India Unik

Kalau elit polisi larut dalam budaya cari muka, menurut Neta mereka akan mudah diintervensi oleh kekuasaan. Polisi sampai kapanpun tidak akan menjadi aparat penegak hukum yang profesional.

“Jika larut dalam budaya cari muka, mereka akan diintervensi kekuasaan,” katanya.

BACA JUGA: Kejagung Tetapkan Gatot jadi Tersangka, La Ode Ida Mengaku Geli

Penyebaran foto tersebut, lanjut Neta, jika ingin dijadikan kasus adalah delik aduan. Polri tidak bisa proaktif menangani kasus tersebut tanpa ada laporan dari pihak yang dirugikan.

“Jika Presiden Jokowi tidak melaporkan hal ini, maka Polri tidak bisa memproses hal ini,” tambahnya.

BACA JUGA: Dari Depok, PKS Ingin jadi Partai Papan Atas di Pemilu 2019

Dalam menangani kasus ini, Polri pun menurutnya hanya perlu menerapkan UU yang ada sehingga Surat Edaran Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti terkait penanganan kasus pernyataan kebencian atau hate speech ini tidak ada manfaatnya.

“Kalau hal ini dilaporkan, maka sudah ada KUHP yang mengatur pidana pencemaran nama baik dan penghinaan. Selain itu juga ada UU ITE. Jadi terlalu berlebihan Kapolri sampai menerbitkan surat edaran segala,” jelasnya.

Polisi kata Neta, harus ingat bahwa presiden dalam hukum kedudukannya sama dengan warga negara biasa, sehingga tidak diperlukan langkah-langkah khusus yang terkesan mengistimewakan presiden. Lagipula Mahkamah Konstitusi jelasnya sudah mencabut pasal pencemaran terhadap presiden.

“Jadi kalau pun ada orang yang menghina atau mencemarkan nama baik presiden, maka Polisi tidak bisa serta merta menetapkan pasal penghinaan tanpa adanya laporan,” paparnya.

Menurut Neta, pasal penghinaan sampai saat ini termasul pasal abu-abu,karena umpatan penghinaan belum tentu bisa diartikan sebagai penghinaan. ”Seperti di Jawa Timur, kata “ganjuk” itu terkadang merupakan umpatan persahabatan dari pada penghinaan,” pungkasnya.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyebab Pantograf KRL Rusak Masih Misteri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler