jpnn.com - JAKARTA - Indonesia Police Watch mengecam keras sikap elite pemerintah yang menganggap enteng kasus kematian akibat “jalur neraka” atau “neraka macet” di tol Brebes, Jawa Tengah saat mudik Lebaran 2016.
Presiden Joko Widodo harus ikut bertanggung jawab. Sebab, saat meresmikan tol Brebes, presiden mengatakan ini dibangun untuk memperlancar arus mudik.
BACA JUGA: Yuk Atur Keuangan Anda Lewat Manajemen Amplop
Sementara, ucapan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Kakorlantas Irjen Agung Budi Maryoto serta pejabat lainnya yang menganggap enteng kasus kematian ini sangat menyakitkan keluarga korban.
"Ini menunjukkan betapa para pejabat itu tidak amanah," kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane, Senin (11/7).
BACA JUGA: Tragedi Tol Brexit, Lima Pihak Ini Harus Tanggung Jawab
Neta menilai alasan infrastruktur dan lebar jalan sangat terbatas, sementara jumlah arus mudik melonjak, menunjukan para pejabat yang ada tidak paham tugasnya.
"Semua orang juga tahu bahwa lebar jalan cuma segitu-gitunya," kata Neta.
BACA JUGA: Senior PKS Desak Pemerintah Beri Kompensasi Korban Tol Brexit
Karena situasi yang ada, kata Neta, diperlukan jendral bintang dua menjadi Kakorlantas dan Kapolda Jateng, agar bisa melakukan rekayasa lalu lintas serta mengantisipasi kondisi darurat.
Saat ini Kakorlantas dijabat Irjen Agung Budi Maryoto. Sedangkan Kapolda Jateng dijabat Irjen Condro Kirono yang tidak lain ialah mantan Kakorlantas Polri.
"Kalau kemudian para pejabat itu cuma pasrah dengan infrastruktur yang ada, sebaiknya jabatan Kakorlantas dan Kapolda Jateng cukup dipegang polisi berpangkat Bripka saja," katanya.
Ia menambahkan, para pejabat ini lupa bahwa saat meresmikan tol Brebes, Jokowi "berjanji" tol itu untuk memperlancar arus mudik. "Tapi sayangnya, para pejabat yang ada tidak tanggap dengan keinginan presiden," katanya.
Karenanya, Neta menjelaskan, ada tiga hal yang perlu dilakukan Jokowi setelah "neraka mudik" 2016.
Pertama, harus meminta maaf kepada masyarakat, khususnya keluarga korban tewas di "neraka mudik". "Kedua, segera mencopot Menteri Perhubungan, Kakorlantas, dan Kapolda Jateng," kata dia.
Ketiga, mengevaluasi mudik 2016 untuk kemudian membuat keputusan bahwa mudik lebaran dijadikan kondisi darurat. "Sehingga perlu ada koordinator tanggap darurat di musim liburan, terutama saat mudik Lebaran," jelasnya.
Koordinator tanggap darurat tidak hanya menyiapkan rekayasa lalu lintas tapi juga menyiapkan fasilitas dalam kondisi darurat di jalur "neraka macet". Seperti helikopter untuk evakuasi, tim dokter, pasukan sepeda motor polisi sebagai kendaraan taktis, dan pemadam kebakaran.
"Bayangkan jika dalam "neraka macet" itu ada mobil yang terbakar, apa yang akan terjadi," paparnya.
Sebenarnya Polri sudah memiliki pasukan seperti Polisi Udara yang memiliki helikopter evakuasi. Kemudian Kedokteran Kepolisian yang bisa diterjunkan ke lokasi kemacetan, atau pasukan sepeda motor yang selama ini hanya digunakan untuk menghalau demonstrasi bisa dimanfaatkan.
"Tapi semua itu tidak digunakan akibat masih tingginya egosektoral di Polri dan tidak pahamnya Kakorlantas Polri dalam menjalankan tugasnya mengendalikan "neraka mudik" di Brebes," papar Neta.
Tentunya, Neta menegaskan, publik tidak ingin kasus yang sama terulang. Jangan sampai setelah kemacetan parah liburan Natal 2015 dan "neraka mudik" 2016, akan muncul "neraka neraka" lain di Pantura.
Untuk itu Jokowi harus bersikap tegas membersihkan jajaran pemerintahnya agar mau bekerja profesional, tanggap, paham akan kondisi yang ada dan tidak mudah menyalahkan masyarakat yang sudah menjadi korban. "Sehingga "neraka mudik" 2016 tidak terulang lagi," katanya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terungkap, Ini Penyebab Sepele 3 WNI Itu Disandera Abu Sayyaf
Redaktur : Tim Redaksi