jpnn.com, JAKARTA - Terdapat sejumlah ketentuan di dalam undang-undang antiterorisme yang memang diperlukan kepolisian. Setidaknya peraturan baru itu akan membuat Polri lebih lega dalam menangani terorisme.
Salah satunya, perpanjangan masa penangkapan. Dimana awalnya hanya memiliki waktu tujuh hari diperpanjang menjadi 14 hari dalam melakukan penangkapan.
BACA JUGA: Perangi Terorisme, Panglima TNI Minta Elemen Bangsa Bersatu
Ada pula perpanjangan penahanan tersangka kasus terorisme, yang awalnya 180 hari atau enam bulan menjadi 270 hari atau sekitar sembilan bulan.
Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto menuturkan, UU Antiterorisme yang baru ini jauh lebih baik dibanding yang sebelumnya. ”Dalam hal masa penangkapan dan penahanan. Itu cukup bagi Polri,” jelasnya, seperti diberitakan Jawa Pos.
BACA JUGA: Polri Waspadai WNI yang Berkunjung ke Turki
Sementara bagi BNPT, UU tersebut juga menjadi angin segar. Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius menuturkan, BNPT sesuai ketentuan dalam UU kini lebih jelas dalam mengkoordinis lintas kementerian menangani permasalahan terorisme. ”Terkait akar masalah terorisme bisa ditangani bersama,” ujarnya.
Sinergitas antar kementerian dan lembaga itu merupakan amanat UU tersebut. ”Fungsi lain ini kami harapkan bisa lebih maksimal karena semua terlibat,” papar jenderal berbintang tiga tersebut.
BACA JUGA: Pesantren Al Hidayah, Mengikis Dendam Anak Para Teroris
Sementara Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Solahudin menuturkan, semua telah memahami deradikalisasi ini tidak bisa hanya BNPT. Tapi, buruknya ternyata BNPT ini selama ini berusaha sendirian. ”Hal itu memang harus diubah kedepan,” jelasnya.
Penegakan hukum hanya akan menyelesaikan pidana kasus terorisme. Namun, tidak akan menyelesaikan akar masalah dari terorisme, maka perkuatan BNPT dalam melakukan deradikalisasi dan kontra terorisme ini penting. ”Kalau bisa dilakukan. Terorisme tidak lagi menjadi ancaman,” tegasnya.
Catatan lainnya, program deradikalisasi ini seharusnya diarahkan kepada napiter dan mantan napiter yang non kooperatif. Sekaligus, keluarga dan napirter dan mantan napiter non kooperatif. ”Saat ini biasanya program malah diarahkan ke orang yang sudah tidak radikal,” ungkapnya.
Deradikalisasi terhadap napiter dan mantan napiter yang non kooperartif ini penting. Sebab, mau tidak mau, kedepan mereka ini yang akan terlibat dan mengurusi soal hal radikal. ”Yang tidak kooperatif ini yang biasanya terafiliasi dengan ISIS,” ujarnya. (idr/jun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Alasan Pelibatan TNI Harus Diatur Secara Ketat
Redaktur & Reporter : Soetomo