Pesantren Al Hidayah, Mengikis Dendam Anak Para Teroris

Senin, 28 Mei 2018 – 00:35 WIB
Khairul Ghazali, Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Deli Serdang memberikan arahan kepada para santri yang merupakan anak mantan teroris pada Senin (21/5/2018). FOTO: KHAFIDLUL ULUM/JAWAPOS

jpnn.com - Di Pesantren Al Hidayah, Deli Serdang, Sumut, puluhan anak para pelaku tindak terorisme dibentengi dari pemahaman jihad yang salah. Rasa dendam dan bencinya dikikis. Jawa Pos pun berkesempatan menjadi pengajar dadakan bagi para santri.

KHAFIDLUL ULUM, Deli Serdang

BACA JUGA: Ini Alasan Pelibatan TNI Harus Diatur Secara Ketat

SEBAGIAN di antara mereka terlihat mengantuk. Berkali-kali menguap. Sebagian yang lain asyik berbincang dengan sesama.

Ruang kelas di Pondok Pesantren Al Hidayah, Deli Serdang, tempat anak-anak berusia 13–14 tahun tersebut berada, memang dikelilingi kebun hijau. Tapi, di siang seterik itu, dalam suasana berpuasa, wajar mereka butuh sedikit pengusir rasa kantuk. ’’Ayo kita tepuk semangat,’’ ajak saya pada Senin lalu itu (21/5).

BACA JUGA: UU Antiterorisme Berpotensi Picu Konflik Antarinstitusi

Satu kali beri semangat, prok. Dua kali beri semangat, prok, prok. Tiga kali beri semangat, prok, prok, prok. Empat kali beri semangat, prok, prok, prok, prok.

Mereka pun kembali bersemangat. Dan, itu otomatis menular kepada saya. Yang pada siang itu diberi kesempatan membagikan pengalaman kepada para santri. Di sela mereka menunggu pergantian mata pelajaran dalam ujian akhir semester.

BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid: Islam Tidak Pernah Mengajarkan Terorisme

***
Al Hidayah khusus mendidik anak-anak pelaku tindak terorisme. Menderadikalisasi mereka. Membentengi dari pemahaman jihad yang salah.

Dan, semua itu bermula saat sang pemimpin pondok, Khairul Gazali, masih mendekam dalam penjara. Di balik kerangkeng Lapas Medan, tempat dia menjalani hukuman enam tahun, narapidana kasus pembobolan bank dan penyerangan Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, itu sadar. Bahwa apa yang dia kerjakan selama ini salah.

Amaliah jihad yang dia laksanakan memakan banyak korban. Terutama orang-orang yang tidak bersalah. ’’Ide mendirikan pesantren itu muncul waktu awal-awal di penjara,’’ ucapnya saat ditemui di kantor pesantren pada Senin lalu (21/5).

Inspirasi tersebut datang setelah mengetahui banyak anak ikhwan jihadi yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Banyak pula yang menjadi korban perundungan.

Kebetulan, saat itu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menggagas program deradikalisasi. Keinginan Ghazali mendirikan pesantren pun semakin kuat.

’’Kalau dibiarkan, akan sangat berbahaya. Sebab, mereka pasti akan mewarisi semangat jihad yang salah. Terorisme akan terus berlanjut,’’ terangnya.

Saat itu, dia melihat negara menelantarkan anak-anak mantan teroris. Tak ada biaya, banyak di antara mereka yang akhirnya tak bisa bersekolah. Padahal, bisa dibilang, mereka juga korban.

Komitmen tersebut akhirnya dia realisasikan ketika bebas bersyarat pada 2015. Di kampung halamannya, Desa Sei Mencirin, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang, Gazali pun merintis pesantren yang awalnya diberi nama Pesantren Darusy Syifa’.

Yang pertama dibangun adalah musala kecil berukuran 5 x 5 meter yang terbuat dari kayu mindi. Musala tanpa dinding itu sampai sekarang masih berdiri. ’’Dana tidak ada. Jadi, kami bangun tanpa dinding. Yang penting bisa untuk salat,’’ tutur dia.

Pada 2016, Gazali mulai membangun asrama berukuran 5 x 7 meter. Asrama itu dibangun dengan dinding gedek dan atap rumbia daun pohon nipah. Asrama tersebut dia bangun dengan biaya pribadi dari royaltinya menulis tiga buku bertema kontraradikalisme.

Selanjutnya, Gazali pun membawa anak-anak mantan teroris tinggal di pesantren kecil tersebut. Ada 10 anak yang menjadi santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Yang paling banyak dari Medan.

Masuk 2017, dia membangun asrama lagi. Santri pun bertambah menjadi 20 orang sampai sekarang. Tapi, kemudian muncul penolakan dari sebagian warga.

Papan nama pesantren dua kali dirusak orang. Mereka menganggap pesantren tersebut akan dijadikan sarang teroris. Gazali pun melaporkan kejadian itu ke polisi.

Akhirnya, polisi memberikan pemahaman kepada masyarakat. Bahwa yang akan dilakukan di pondok tersebut justru program deradikalisasi.

***

Pesan itu berkali-kali ditekankan Gazali kepada saya sebelum mengisi kelas. ’’Tolong, jangan ditanyakan tentang orang tua mereka. Apalagi tanya bagaimana ayah mereka meninggal,’’ katanya.

Dia terus mewanti-wanti itu karena selain tak sejalan dengan semangat deradikalisasi, juga berdasar pengalaman tak mengenakkan. Suatu waktu, tutur dia, pernah seorang jurnalis datang ke Pesantren Al Hidayah bersama rombongan pejabat.

Wartawan itu menemui seorang santri dan langsung bertanya tentang nama orang tua dan seperti apa sepak terjang mereka selama menjadi teroris. Dan yang paling mengoyak jiwa anak-anak adalah ketika si wartawan itu bertanya bagaimana orang tua mereka meninggal.

Santri tersebut tidak bereaksi. Hanya diam. Tapi memendam perasaan yang menggelora. Rasa sedih dan dendam bercampur ketika masa lalu orang tuanya diungkit.

Sejak kejadian itu, Gazali selalu mewanti-wanti tamu yang datang agar tidak menanyakan masa lalu orang tua santri. ’’Sebab, yang kami lakukan di sini justru berupaya menghilangkan rasa dendam dan kebencian di hati para santri,’’ tegasnya.

Saya memegang betul pesan itu. Saya memilih menyemangati mereka dengan menceritakan betapa banyak tokoh negeri ini yang dididik di pesantren. Di antaranya, mantan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi (almarhum), mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, serta Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

Karena itu, tak ada alasan untuk bermalas-malasan. Saya juga berbagi pengalaman selama menjadi santri dan pentingnya menuntut ilmu. Pesantren memberikan ilmu dasar yang akan menjadi modal bagi para santri untuk terjun ke masyarakat.

Belajar dan harus terus belajar. Menghafal mufrodat, kosakata bahasa Arab, menjadi kewajiban. ’’Setiap hari menghafal tiga mufrodat,’’ kata saya.

Selain bahasa Arab, ilmu lain juga sangat penting. Semua ilmu akan sangat bermanfaat ketika lulus dari pesantren.

Setelah menjelaskan panjang lebar dunia pesantren, saya pun bertanya apa yang menjadi cita-cita mereka. Mereka pun saling bersahutan. ’’Ingin jadi tentara,’’ ucap salah seorang santri. Ada pula yang bercita-cita menjadi polisi, guru, dan pengusaha.

Tibalah pada sesi pertanyaan. Seorang santri pun mengacungkan tangan. Saya mendekatinya. ’’Bagaimana hukumnya membunuh orang?’’ ucapnya datar.

Saya menjawab, dengan hati-hati tentu saja, bahwa membunuh orang dilarang oleh agama maupun negara. Dalam Islam, membunuh seseorang dilakukan hanya dalam keadaan perang.

Nabi Muhammad pun menetapkan syarat-syarat yang cukup ketat ketika perang. Yaitu, tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, maupun lansia serta tidak boleh merusak tempat ibadah, bahkan tidak boleh menebang pohon. ’’Bagaimana hukumnya membunuh orang kafir?’’ sahut siswa yang lain.

Saya pun menjelaskan, selama mereka tidak memerangi kita, tidak boleh membunuh orang nonmuslim. Apalagi, Indonesia tidak hanya ditinggali orang Islam. Tapi juga masyarakat beragama lain. Harus hidup berdampingan, saling menghormati dan tolong-menolong.

’’Dalam Islam dikenal ukhuwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim; juga ada ukhuwah watoniyah, persaudaraan sesama anak bangsa; serta ukhuwah basyariah, persaudaraan kemanusiaan,’’ terang saya.

Penjelasan itu, tampaknya, menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. Sampai kemudian seorang santri lain bertanya lagi. ’’Ustad sudah hafal berapa juz?’’ tanya dia.

Itu pertanyaan yang sulit dijawab, hehehe...

***

Sudah banyak pejabat yang berdatangan ke Pondok Pesantren Al Hidayah. Termasuk para petinggi BNPT.

Termasuk Tito Karnavian semasa menjabat kepala BNPT. Bahkan, dia menyerahkan hibah tanah milik PTPN II untuk dikelola pesantren seluas 30 hektare tersebut.

Kepala BNPT sekarang, Komjen Suhardi Alius, juga telah datang dan menggalang dana untuk membangun masjid berwarna hijau muda itu. ’’Kami akhirnya mendapat izin legalitas dari dinas pendidikan dan menggunakan kurikulum resmi dari dinas,’’ tutur Gazali.

Selain kurikulum dinas, pihaknya mempunyai kurikulum pesantren yang mengajarkan materi Islam. Di setiap materi, dia menyisipkan materi Islam rahmatan lil alamin. (*/c5/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Peneliti UI Nilai BNPT Lemah Dalam Menangani Terorisme


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler