jpnn.com - Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa arus mudik 2017 dapat berjalan lancar karena kinerja aparat pemerintahan yang sigap dalam menyiapkan dan mengawal jalannya arus mudik. Di antara yang dibanggakan adalah keberanian memfungsikan Tol Brexit – Gringsing sehingga tidak terjadi kemacetan parah sebagaimana yang terjadi dalam arus mudik 2016.
Pernyataan Menteri Perhubungan diikuti luapan kegembiraan berlebihan dari pendukung fanatik Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang di antaranya menorehkan pernyataan bernada provokatif bahwa baru di era Jokowi mudik dapat berjalan lancar. Kemudian juga disebar ucapan terima kasih kepada Jokowi sebagai simbol untuk mempertegas bahwa kelancaran mudik ini benar-benar merupakan buah dari kerja keras pemerintahan saat ini.
BACA JUGA: Harga Ayam Pedaging Turun Lagi
Namun pernyataan Menteri Perhubungan hanya didasari sepenggal fakta saja, yaitu arus mudik yang berjalan lancar tanpa ada kemacetan yang berarti. Ada fakta-fakta lainnya yang tidak dikemukakan sebagaimana mestinya.
Padahal, fakta-fakta tersebut sangat penting untuk membaca kondisi arus mudik secara keseluruhan. Bahkan lebih dari itu, bisa untuk memotret kondisi kesejahteraan rakyat di bawah pemerintahan Jokowi.
BACA JUGA: Stok Emas Antam Menipis, Warga Harus Inden
Sebetulnya, dari data di lapangan menunjukkan adanya angka penurunan pada arus mudik 2017. Merujuk data dari Posko Mudik Kementerian Perhubungan, pada H-2 pemudik dengan kendaraan darat hanya berjumlah 1.173.010 orang.
Sedangkan untuk 2016, pada hari yang sama jumlah pemudik angkutan darat mencapai 2.299.873. Itu artinya ada penurunan 1.126.863 pemudik.
BACA JUGA: Citilink Angkut 649.541 Penumpang Selama Lebaran
Selanjutnya, total pemudik yang melakukan penyeberangan tahun ini sebanyak 1.430.694 orang. Sedangkan pada tahun lalu ada sekitar 1.788.629 orang.
Adapun pemudik yang menggunakan kereta api pada H-2 Lebaran tahun lalu sebanyak 1.621.937. Tapi pada 2017 ini menurun dengan jumlah 1.291.923.
Demikian pula untuk angkutan laut. Untuk 2016 ada 494.910 angkutan, sedangkan 2017 hanya ada sekitar 453.516. Artinya ada penurunan 41.394.
Memang, data di atas baru bicara hingga H-2 lebaran. Namun, jika membaca pernyataan Direkur Utama Jasa Marga Desi Arryani yang menyebut puncak arus mudik di Gerbang Tol Cikarang Utama terjadi pada H-4, maka data yang dilansir dari Posko Mudik Kementerian Perhubungan sudah cukup untuk dijadikan pijakan untuk menyodorkan asumsi penurunan jumlah pemudik.
Bahkan, acara mudik gratis yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan juga kekurangan peminat. Mudik bareng dengan moda kereta api menyisakan bangku kosong hingga 1.000 kursi.
Kondisi lebih parah terjadi pada mudik gratis dengan moda kapal laut yang hanya terisi 60 persen dari kapasitas yang disediakan. KM Dobonsolo yang mampu mengangkut 1.250 sepeda motor, pada pemberangkatan 17 Juni 2017 dengan rute Tanjung Priok Jakarta – Tanjung Emas Semarang hanya mengangkut 113 sepeda motor saja. Sangat jauh dari harapan.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa banyak rakyat yang tahun lalu bisa merayakan Lebaran di kampung halaman, tetapi tahun ini tidak bisa mudik. Melihat begitu banyaknya rakyat yang tidak bisa mudik, mestinya menjadi perhatian pemerintah untuk mencari tahu apa penyebab rakyat tidak bisa mudik.
Sayangnya, pemerintah lebih bersemangat mengumumkan bahwa mudik berjalan lancar dan menjadikannya sebagai kampanye pencitraan. Padahal bila diamati secara saksama, akan dengan mudah didapat penyebab menurunnya jumlah pemudik.
Indikator ke arah situ sudah disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani yang menyatakan bahwa hampir semua perusahaan ritel mengeluhkan turunnya daya beli masyarakat pada Lebaran tahun ini. Sehingga, penjualan berbagai produk jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Misalnya, produk batik mengalami penurunan hingga 20 persen. Menurut para pengusaha batik, penurunan itu yang paling parah untuk pertama kalinya.
Dari pernyataan Ketua Apindo tersebut dapat ditarik benang merah bahwa telah terjadi penurunan daya beli masyarakat. Fakta tersebut telah menjawab analisis yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati bahwa kenaikan tarif dasar listrik (TDL) telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat dan juga telah mengerek angka inflasi Juni 2017 hingga mencapai 0,69 persen.
Jadi, kebijakan kenaikan TDL adalah penyebab menurunnya daya beli masyarakat yang kemudian berdampak terhadap menurunnya jumlah pemudik, yang kemudian menyebabkan arus mudik menjadi lancar sebagaimana klaim pemerintah.
Selain kenaikan TDL, sebetulnya ada faktor lagi yang menyebabkan jumlah pemudik mengalami penurunan, yakni waktu mudik yang hampir berbarengan dengan tahun ajaran baru. Bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah, tentu akan membutuhkan dana yang cukup untuk biaya anak sekolah.
Jika daya belinya menurun maka akan dihadapkan pada dua pilihan yakni membiayai anak sekolah atau mudik. Dan sudah bisa dipastikan mayoritas orang tua akan mendahulukan pendidikan anak dibanding melakukan mudik.
Oleh karena itu, lancarnya arus mudik jangan lantas menjadikan pemerintah berbesar hati. Memang harus diakui juga bahwa persiapan pemerintah, kerja aparat di lapangan, dan juga pembangunan infrastruktur punya andil dalam memperlancar arus mudik 2017.
Namun, ada fakta bahwa penurunan jumlah pemudik juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Ironi di balik lancarnya arus mudik adalah daya beli masyarakat yang menurun karena dampak kenaikan TDL, sehingga bagi rakyat yang penghasilannya pas-pasan memilih untuk tidak mudik. Tugas pemerintah lah untuk segera memperbaiki daya beli masyarakat agar bisa segera pulih seperti sedia kala.(***)
*Penulis adalah anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Gerindra dan Ketua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya (SATRIA).
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hamdalah, Penanganan Arus Mudik Kantongi Sentimen Positif dari Publik
Redaktur : Tim Redaksi