jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah tengah berupaya keras menggenjot industri di tengah era revolusi 4.0. Ironisnya, regulasi yang dibuat pemerintah sendiri justru kerap menghambat perkembangan industri.
Pengamat ekonomi dari UGM Tony Prasetiantiono menyampaikan, pemerintah sejauh ini sudah menyiapkan lima sektor industri untuk dihadapkan pada revolusi industri 4.0. Sektor itu adalah makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia.
BACA JUGA: Ketum Apindo Beber Tantangan Dunia Industri
"Pemerintah sudah bekerja keras untuk menarik investasi sebanyak mungkin," ujarnya dalam diskusi Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) bertajuk Menjaga Kelangsungan Investasi Indonesia, Senin (4/6).
Namun, berkebalikan dengan hal tersebut, fakta di dalam negeri menunjukkan sejumlah investor justru merasa tidak nyaman. Alasan utamanya adalah adanya regulasi-regulasi tertentu yang berujung peningkatan biaya produksi.
BACA JUGA: 27 Sektor Industri Dapat Fasilitas Bea Masuk
Regulasi yang dimaksud seperti tarif pajak, bea, cukai, dan retribusi. Semua menyebabkan pengusaha terpaksa menahan produksi untuk menghindari peningkatan biaya.
"Peningkatan kapasitas produksi akan mengarahkan aktivitas usaha berbalik dari menghasilkan keuntungan menjadi pemicu kerugian. Sebab, peningkatan produksi berarti peningkatan jumlah pajak, bea, cukai, dan retribusi yang harus dibayar," ujar dia.
BACA JUGA: Megawati: Bung Karno Ingin Indonesia jadi Negara Industri
Toni Prasetiantiono menambahkan pentingnya menghadapi persaingan investasi dengan negara-negara lainnya seperti vietnam dan sebagainya.
“Dukungan terhadap investasi yang sudah ada di Indonesia menjadi penting, misalnya dengan membangun infrastruktur dan membuat regulasi-regulasi yang menunjang kegiatan produksi”, tambahnya.
Industri bisa saja mengurangi kapasitas produksi untuk mencegah kerugian. Dalam skenario itu, negara dan pekerja akhirnya akan ikut merugi.
Sebab, negara dan pekerja kehilangan potensi pendapatan. Negara juga merugi karena lapangan kerja gagal tercipta akibat industri menahan atau bahkan memangkas produksi.
Jika keadaan itu berlanjut, investor akan memilih hengkang ke negara lain yang lebih mendukung pengembangan modalnya.
Skenario itu tidak bagus untuk Indonesia yang tengah bekerja keras menarik investasi sebanyak mungkin.
Calon investor bukan tidak mungkin akan menghapus Indonesia dari daftar calon lokasi penanaman modal jika ada fakta yang mengungkap bahwa banyak investor di Indonesia malah justru memindahkan usaha ke negara lain.
Hal ini dibenarkan oleh Toni Tanduk dari Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia. “Jika Indonesia ingin mengajak pihak lain untuk berinvestasi, perlu diperhitungkan bagaimana menjaga keberlangsungan investasi itu di Indonesia,” ujar dia.
Sementara, anggota DPR RI Eka Sastra memberi contoh dari industri tembakau. Dirinya mengatakan bahwa regulasi terkait tembakau yang dianggap tidak jelas dapat menjadi penyebab utama investor di industri ini enggan mempertahankan bisnisnya di Indonesia.
Hal ini dapat memberi dampak krusial, seperti diketahui pada tahun 2017 sektor tembakau menyumbangkan Rp 149 triliun atau 10 persen dari target pendapatan APBD. Sektor itu juga mempekerjakan total 6,4 juta orang yang terdiri dari petani tembaku, petani cengkeh, pekerja pabrik, hingga pekerja di sektor distribusi produk tembakau.
“Soal revolusi industri 4.0 ini bukan soal siap atau tidak tapi bagaimana kita terlibat di dalamnya,” ujar dia. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Regulasi Pemain, Piala Indonesia 2018 Dianggap Tak Adil
Redaktur & Reporter : Adil