Justru bisnis gula oleh Belanda itu meninggalkan warisan tak ternilai yang terbiarkan kurang dirawat
BACA JUGA: Mega Sulit Lepas dari Pengaruh TK
Hal itu disampaikan Krisnina Maharani Akbar Tandjung, dalam acara persiapan peluncuran buku berjudul "Jejak Gula" di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Senin (5/4)Akulturasi antara budaya Eropa, Cina dan Jawa telah melahirkan subkultur Indies yang tercermin pada arsitektur bangunan dan gaya hidup yang khas di sekitar pabrik gula
BACA JUGA: Kebetulan Saja Trah Soekarno
"Jaringan jalan raya, rel kereta api, listrik telekomunikasi, irigasi dan prasarana lainnya berkembang sejalan dengan kejayaan industri gula bahkan juga berperan besar bagi persemaian akar-akar gerakan kebangsaan pada awal 20," terang istri dari Akbar Tandjung itu."Dinamika hubungan antara pemerintah kolonial Hindia Belanda, penguasa tradisional Bumiputera (raja-raja Jawa) dan saudagar Tionghoa sedikit banyak dipengaruhi oleh perdagangan gula
Bahkan Nina menyebut keberadaan Het Proefstation Oost Java yang kini bernama Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan sejak 1887, pernah menjadikan Jawa sebagai kiblat industri gula dunia
BACA JUGA: Lagi, 3 Penyidik jadi Terperiksa
"Juga karena gula Kota Pasuruan dan Probolinggo pernah berada dibawah kekuasaan dua bersaudara keturunan Tionghoa Han Chan Piet dan Han Ki KoDua kota itu dijadikannya sebagai melting pot antar-budaya," ulasnya.Selain itu, dari penelusuran dalam rangka penulisan buku yang akan diluncurkan 11 April mendatang di Jakarta terungkap pula bahwa gula juga merupakan salah satu tambang emas "keuangan kerajaan Belanda" sebelum depresi ekonomi pada dasawarsa 30-anPusat perdagangan gula saat itu berada di Surabaya di sekitar Willemskade atau de Roode Brug (Jembatan Merah).
"Raksasa gula masa lalu seperti Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), International Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam (Internatio), Koloniale Bank dan Nederlandsche Indie Landbouw Maatschappij (NILM) memiliki kantor di sekitar Jembatan MerahSalah satu yang masih terawat adalah gedung HVA yang sekarang menjadi Kantor Pusat PT (Persero) Perkebunan Nusantara XI," imbuh Nina, yang juga Ketua Umum Yayasan Warna-Warni itu.
Warisan budaya yang tak ternilai ini, menurut Nina, sangat berpotensi dijadikan sebagai atraksi wisata alternatifYang penting kita harus menjaga, merawat dan memberdayakan aset berharga itu"Atas alasan itulah kami di Yayasan Warna-Warni bekerja keras menerbitkan buku "Jejak Gula" itu," tegasnya(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BC Tangkap SS Senilai Rp7 Miliar
Redaktur : Tim Redaksi