Istri Akbar Bukukan Sejarah Bisnis Gula

Senin, 05 April 2010 – 23:13 WIB
JAKARTA - Gula dikenal sebagai komoditas strategis yang memberi sumbangan besar terhadap kemakmuran bangsa Belanda di masa silamTidak salah bila ahli sejarah perekonomian Belanda, Cornelis Fasseur, menyebut gula sebagai gabus yang mengapungkan Nederland, sementara kemakmuran yang bersumber dari gula itu tidak dinikmati oleh bangsa Indonesia.

Justru bisnis gula oleh Belanda itu meninggalkan warisan tak ternilai yang terbiarkan kurang dirawat

BACA JUGA: Mega Sulit Lepas dari Pengaruh TK

Hal itu disampaikan Krisnina Maharani Akbar Tandjung, dalam acara persiapan peluncuran buku berjudul "Jejak Gula" di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Senin (5/4)
Menurutnya, sebagai komoditas strategis di masa lalu gula telah melahirkan pertautan lintas-budaya dari pihak yang terlibat dalam mata-rantai industrinya.

Akulturasi antara budaya Eropa, Cina dan Jawa telah melahirkan subkultur Indies yang tercermin pada arsitektur bangunan dan gaya hidup yang khas di sekitar pabrik gula

BACA JUGA: Kebetulan Saja Trah Soekarno

"Jaringan jalan raya, rel kereta api, listrik telekomunikasi, irigasi dan prasarana lainnya berkembang sejalan dengan kejayaan industri gula bahkan juga berperan besar bagi persemaian akar-akar gerakan kebangsaan pada awal 20," terang istri dari Akbar Tandjung itu.

"Dinamika hubungan antara pemerintah kolonial Hindia Belanda, penguasa tradisional Bumiputera (raja-raja Jawa) dan saudagar Tionghoa sedikit banyak dipengaruhi oleh perdagangan gula
Bahkan keberadaan industri gula juga berpengaruh terhadap kemajuan pemuliaan tanaman, teknik budidaya dan pasca-panen serta teknologi produksi," ungkap Nina.

Bahkan Nina menyebut keberadaan Het Proefstation Oost Java yang kini bernama Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan sejak 1887, pernah menjadikan Jawa sebagai kiblat industri gula dunia

BACA JUGA: Lagi, 3 Penyidik jadi Terperiksa

"Juga karena gula Kota Pasuruan dan Probolinggo pernah berada dibawah kekuasaan dua bersaudara keturunan Tionghoa Han Chan Piet dan Han Ki KoDua kota itu dijadikannya sebagai melting pot antar-budaya," ulasnya.

Selain itu, dari penelusuran dalam rangka penulisan buku yang akan diluncurkan 11 April mendatang di Jakarta terungkap pula bahwa gula juga merupakan salah satu tambang emas "keuangan kerajaan Belanda" sebelum depresi ekonomi pada dasawarsa 30-anPusat perdagangan gula saat itu berada di Surabaya di sekitar Willemskade atau de Roode Brug (Jembatan Merah).

"Raksasa gula masa lalu seperti Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), International Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam (Internatio), Koloniale Bank dan Nederlandsche Indie Landbouw Maatschappij (NILM) memiliki kantor di sekitar Jembatan MerahSalah satu yang masih terawat adalah gedung HVA yang sekarang menjadi Kantor Pusat PT (Persero) Perkebunan Nusantara XI," imbuh Nina, yang juga Ketua Umum Yayasan Warna-Warni itu.

Warisan budaya yang tak ternilai ini, menurut Nina, sangat berpotensi dijadikan sebagai atraksi wisata alternatifYang penting kita harus menjaga, merawat dan memberdayakan aset berharga itu"Atas alasan itulah kami di Yayasan Warna-Warni bekerja keras menerbitkan buku "Jejak Gula" itu," tegasnya(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BC Tangkap SS Senilai Rp7 Miliar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler