jpnn.com, JAKARTA - Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin angkat bicara terkait konflik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dengan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah DPP Front Pembela Indonesia (FPI) di Megamendung, Kabupaten Bogor.
Iwan Nurdin menilai FPI tidak berhak mendapat ganti rugi jika Pesantren Markaz Syariah diambil kembali oleh PTPN VIII.
BACA JUGA: Rumah Boby Surya Digeledah Polisi, Senjata Api Rakitan Ditemukan di Dalam Kamar
FPI dan para pihak yang bertanggung jawab pada penguasaan lahan milik PTPN VIII bisa dipenjara hingga 4 tahun dan denda hingga Rp 4 miliar.
Iwan Nurdin mengatakan dugaan penyerobotan lahan PTPN VIII oleh FPI adalah kasus lama. Kasus itu dilaporkan ke Polda Jawa Barat beberapa tahun lalu.
BACA JUGA: Gadis 16 Tahun Aniaya Mahasiswi di Tempat Hiburan Malam, Berawal Cekcok di Toilet
“Kemudian kasus ini menghilang dan sekarang mencuat lagi,” ujarnya.
Iwan, berdasarkan pernyataan Muhammad Rizieq Shihab dan sejumlah pihak di FPI, menyebut bahwa FPI mengakui lahan yang dikuasainya milik PTPN.
BACA JUGA: Respons Terbaru Mahfud MD Soal Sengketa Lahan Markaz Syariah FPI
“Lahan itu digarap oleh orang perorang lalu dibeli FPI atau MRS,” ujarnya.
Akad itu, menurut Iwan, tidak dapat dibenarkan menurut hukum Indonesia. Sebab, pemegang hak atas tanah adalah PTPN VIII. Dengan demikian, akad terkait lahan harus dilakukan oleh PTPN VIII.
Alasan FPI bahwa akadnya hanya pengalihan penggarapan juga tidak bisa diterima. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan FPI tidak hanya menanami lahan dengan aneka tumbuhan. FPI membuat aneka bangunan.
Padahal, jelas sertipikat Hak Guna Bangunan (HGU) diberikan karena lahannya dipakai untuk usaha perkebunan, pertanian, peternakan, tambak perikanan. Sementara untuk bangunan, maka sertipikat dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB).
Iwan menyarankan agar PTPN VIII segera menunjukkan batas-batas lahan yang dikuasakan kepada perusahaan itu. Badan Pertanahan Nasional juga dapat membantu menjelaskan hal itu.
Jika benar ada HGU, maka pihak yang melanggar bisa dikenai sanksi sebagaimana diatur oleh Perpu nomor 51 tahun 1960.
Dalam Perppu itu jelas diatur denda Rp 4 miliar dan penjara 4 tahun kepada siapa pun yang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.
BACA JUGA: Mesin ATM di Minimarket Dibobol dengan Las, Perampok Gondol Sejumlah Uang Tunai
Selanjutnya, KUH Pidana Pasal 385 ayat (1) KUHP, jika seseorang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak (secara tidak sah) menjual, menukar, atau menjadikan tanggungan utang hak orang lain untuk memakai tanah negara, maka dapat dihukum penjara selama 4 (empat) tahun penjara.(dkk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Muhammad Amjad