Jacinda Ardern

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 20 Januari 2023 – 18:44 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern di Hotel Kimpton Maa-Lai, Bangkok, Jumat (18/11) pagi. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

jpnn.com - Inilah contoh pemimpin yang tahu diri, yang tahu mengenai kapasitas dirinya, dan tahu benar kapan saatnya harus maju dan kapan saat yang tepat untuk berhenti.

Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia, pekan ini mengumumkan mundur dari jabatan yang diembannya selama 7 tahun, karena merasa tidak lagi memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan tugasnya.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: PM Selandia Baru Jacinda Ardern Tiba-tiba Mengundurkan Diri

Ardern masih muda, baru 42 tahun, dan sangat berprestasi.

Dia merupakan perempuan pertama yang menjadi perdana menteri di Selandia Baru.

BACA JUGA: Sudah Lelah, PM Selandia Baru Jacinda Ardern Ogah Tambah Satu Periode Lagi

Dia memimpin negaranya melewati peristiwa-peristiwa besar yang sangat krusial, seperti pembunuhan di masjid Chrischurch yang menghebohkan dunia, bencana gempa bumi di Selandia bagian selatan, dan sukses membawa Selandia Baru melewati periode pandemi Covid-19 yang mencekam.

Etika dan moralitas politik Ardern patut diteladani oleh politisi di Indonesia.

BACA JUGA: Partai Buruh Anjlok di Survei, Masa Keemasan Jacinda Ardern Segera Berakhir?

Beberapa tahun terakhir ini lanskap politik Indonesia gaduh oleh wacana perpanjangan masa jabatan.

Presiden Jowo Widodo sudah harus mengakhiri masa baktinya pada 2024 setelah mengabdi selama 2 periode.

Seharusnya sudah tidak perlu lagi ada wacana mengenai perpanjangan masa jabatan dengan alasan apa pun.

Konstutusi sudah tegas membatasi masa jabatan selama 2 periode.

Akan tetapi, di Indonesia muncul banyak wacana untuk memperpanjang masa jabatan dengan berbagai alasan.

Pandemi Covid-19 dijadikan salah satu alasan untuk memperpanjang masa jabatan kepresidenan.

Isu mengenai resesi dunia tahun ini pun dijadikan alasan untuk memperpanjang masa jabatan.

Fenomena yang umum terjadi di seluruh dunia tidak seharusnya menjadi alasan khas untuk memperpanjang masa jabatan kepresidenan.

Selandia Baru, Indonesia, dan seluruh negara di dunia semua menghadapi persoalan internasional yang sama.

Akan tetapi, hal itu tidak menjadi alasan bagi negara-negara lain untuk mengubah konstitusi untuk mengakomodasi perpanjangan masa kepresidenan.

Para penjilat politik pun bermunculan.

Seorang politisi mengatakan bahwa Jokowi layak mendapatkan perpanjangan masa jabatan, karena kapasitas dan kapabilitasnya lebih baik dari siapa pun calon presiden yang sekarang dimunculkan.

Argumen ini terdengar seperti debat kusir ketimbang argumen politik yang rasional dan berkualitas.

Atmosfer politik yang ugal-ugalan di level nasional ini merembet ke level yang lebih bawah.

Ratusan kepala desa melakukan unjuk rasa untuk menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.

Harus diingat bahwa para kepala desa ini boleh mencalonkan diri lagi sampai 3 periode.

Dengan masa jabatan 6 tahun seperti sekarang saja, kepala desa punya kesempatan untuk menjadi penguasa desa selama 21 tahun.

Dengan tuntutan perpanjangan menjadi 9 tahun berarti kepala desa bisa berkuasa sampai 27 tahun.

Sistem demokrasi yang baik seharusnya didesain untuk menjamin pembatasan kekuasaan supaya tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada satu orang.

Pembatasan masa jabatan juga dimaksudkan sebagai upaya penyegaran secara terus-menerus, untuk menumbuhkan pemimpin baru yang lebih segar untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang lebih bervariasi.

Perpanjangan masa jabatan akan menghambat regenerasi dan munculnya pemimpin baru dengan ide-ide baru.

Perputaran kepemimpinan yang diselenggarakan secara berkala akan memacu munculnya pemimpin yang bertanggung jawab dengan bekerja secara efektif dan efisien.

Tuntutan para kepala desa itu kabarnya sudah disetujui oleh Presiden Jokowi.

Alasannya supaya pembangunan di desa bisa berkelanjutan dan kondisi desa bisa lebih stabil.

Pemilihan kepala desa yang terlalu sering akan memunculkan polarisasi di kalangan penduduk desa.

Sudah jamak diketahui bahwa pemilihan kepala desa sering menjadi ajang politik uang dan menjadi ajang tarung para bandar judi.

Keputusan Jokowi untuk menyetujui tuntutan para kepala desa itu memicu kritik dan kecurigaan mengenai adanya skenario tertentu di baliknya.

Kalau wacana perpanjangan masa jabatan kepresidenan terlihat mentok di level atas, maka akan ada gerakan dari bawah untuk mengegolkan wacana itu.

Perpanjangan masa jabatan kepala desa dikhawatirkan akan ditunggangi oleh skenario politik untuk mencari jalan guna memperpanjang masa jabatan kepresidenan melalui jalur bawah.

Alasan yang dipakai adalah aspirasi rakyat bawah.

Sikap Jacinda Ardern dari Selandia Baru patut menjadi cermin bagi masyarakat seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Seorang pemimpin yang cerdas paham membaca isyarat politik dan tidak akan memaksakan kehendaknya untuk terus berkuasa.

Ardern politisi yang cerdas dan berkualitas. 

Dia mengawali kariernya di dunia politik ketika berusia 18 tahun.

Pada 1999, Ardern muda bergabung menjadi salah satu anggota Partai Buruh Selandia Baru. 

Pada awal karier politiknya, dia pernah tercatat menjadi salah satu penasihat Helen PM Selandia Baru periode 1999-2008.

Kemudian, pada 2005, Ardern bekerja di Inggris, menjadi salah satu staf di kantor kabinet Tony Blair, Perdana Menteri Inggris.

Pada 2008 Ardern bergabung menjadi anggota parlemen di Selandia Baru, dan menjadi anggota termuda pada saat itu.

Ardern mulai dikagumi karena banyak menyuarakan hak advokasi anak,  suara perempuan, hingga hak masyarakat yang terpinggirkan. 

Kariernya melesat hingga akhirnya pada 2017 berhasil menjadi ketua Partai Buruh.

Puncaknya, pada Oktober 2017, dia terpilih untuk menjadi PM Selandia Baru. 

Pada Oktober 2020, Ardern kembali terpilih menjadi PM Selandia Baru untuk yang kedua kalinya.

Kini setelah 7 tahun menjabat sebagai PM, Ardern akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai pemimpin pemerintahan Selandia Baru. 

Dalam konferensi persnya, Ardern menjelaskan bahwa pengunduran dirinya didasarkan pada penilaian bahwa dia sudah tidak bisa lagi memimpin Selandia Baru ke arah yang lebih baik lagi. 

Dia mengaku lelah dan mengalami ‘’burn out’’.

Ardern juga beralasan bahwa dia hendak fokus untuk mengasuh putrinya yang akan mulai bersekolah tahun ini.

Ardern mengaku  ingin menjadi sosok ibu yang dapat diandalkan dan selalu ada untuk putrinya. 

Dia menjadi sosok yang langka sebagai ibu yang bekerja sambil memimpin sebuah negara.

Dia melahirkan saat menjabat, satu-satunya pemimpin dunia yang pernah melahirkan ketika menjabat ialah Benazir Bhutto Perdana Menteri Pakistan.

Karisma dan filosofi kepemimpinan Ardern telah membuat namanya dikenal di seluruh dunia.

Banyak penggemarnya ialah perempuan yang mengaguminya karena bisa menyeimbangkan karier politik dan rumah tangga.

Dia berbagi pengalaman mengasuh anak di media sosial, mulai dari perjuangan untuk membuat kue ulang tahun untuk putrinya, hingga menemukan noda krim popok di jaketnya setelah rapat seharian.

Akan tetapi, pada akhirnya ia memilih untuk mundur. 

Dia bisa saja bertahan dan bertarung lagi, tetapi dia tahu bahwa sekarang saat yang tepat untuk mundur.

‘’Politikus itu manusia. Kami memberikan semua yang kami bisa, selama kami bisa, dan kemudian inilah saatnya. Dan bagi saya, sudah waktunya. Saya tahu apa yang dibutuhkan pekerjaan ini, dan saya tahu bahwa saya tidak lagi memiliki cukup energi di dalam tangki untuk melakukannya dengan baik." Begitu ucapan Ardern ketika mengumumkan pengunduran diri.

Sebuah pelajaran politik penting telah diberikan oleh Ardern, yaitu berhenti pada saatnya. Para politisi Indonesia harus mendengar pesan ini. (**)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler