Jadi Pembicara di Rakor MKKS SMA/SMK se-Papua Barat, Filep Wamafma Paparkan Materi Otsus Bidang Pendidikan

Rabu, 22 Mei 2024 – 11:54 WIB
Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma memenuhi undangan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA dan SMK Provinsi Papua Barat sebagai pembicara pada Rapat Koordinasi yang berlangsung pada Selasa (21/5/2024). Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, MANOKWARI - Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma memenuhi undangan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA dan SMK Provinsi Papua Barat sebagai pembicara pada Rapat Koordinasi yang berlangsung pada Selasa (21/5/2024).

Dalam kesempatan ini, senator Filep memaparkan materi mengenai ‘Kebijakan Pemerintah Pusat tentang Otonomi Khusus di Bidang Pendidikan’.

BACA JUGA: Dana Otsus Pendidikan Mulai Dicairkan

Pada awal pemaparan, Filep mengungkapkan data dan fakta di lapangan perihal kondisi pendidikan di tanah Papua.

Papua dan Papua Barat masih menjadi provinsi tertinggi angka putus sekolah di jenjang SD 2,38 persen untuk Papua dan 0,6 persen Papua Barat.

BACA JUGA: Panglima Separatis: Otsus dan Pemekaran Hanya Menyengsarakan Rakyat Papua

Selain itu, khusus Provinsi Papua Barat, besaran Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) juga masih rendah.

“Pada tahun 2022, menurut wilayahnya, angka putus sekolah jenjang SD paling tinggi di Papua, yakni 2,38 persen, kemudian diikuti oleh Papua Barat sebesar 0,6 persen. Pada tahun 2022, Angka Partisipasi Kasar (APK) mencapai 110, 42 persen yang berarti bahwa tidak seluruh penduduk Papua Barat yang bersekolah di SD berusia 7-12 tahun,” urai Filep.

BACA JUGA: Senator Filep Minta Pemda Kelola Dana Otsus Secara Transparan dan Akuntabel

Lebih lanjut, Senator Filep mengatakan pada tahun 2022, Angka Partisipasi Murni (APM) mencapai 94,31 persen, yang berarti bahwa tidak seluruh penduduk Papua Barat yang berusia 7-12 tahun menempuh jenjang pendidikan SD.

“Maka tidak mengherankan bahwa di tahun 2022, dan 2023, data BPS menunjukkan bahwa penduduk Papua Barat yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, paling banyak pendidikan tertingginya di level SD,” ujar Filep.

Lebih lanjut, senator yang juga akademisi STIH Manokwari itu menambahkan data mengenai rasio jumlah guru dengan jumlah sekolah di Papua Barat.

Data menunjukkan jumlah guru di Papua Barat per Semester Ganjil 2023/2024 sebanyak 10.181 orang dan masuk dalam 5 besar terendah se-Indonesia.

Di tengah kondisi ini, kata dia, rata-rata biaya pendidikan SD di Papua Barat per tahun 2020/2021 justru menjadi yang termahal, bahkan mengalahkan mahalnya Jakarta yakni Rp 4,86 juta.

Padahal, Rata–rata Upah/Gaji Bersih Sebulan Buruh/Karyawan/Pegawai di Provinsi Papua Barat pada 2023 hanya sebesar Rp3.601.390; dan Rata–rata Pendapatan Bersih Sebulan Pekerja Informal di Provinsi Papua Barat 2023 hanya sebesar Rp 2.556.521.

“Ini tidak sebanding dengan biaya sekolah,” ujar Filep.

“Bahkan Data BPS menyebutkan persentase penduduk miskin terbanyak di Papua yakni jumlah penduduk miskin sebanyak 915,15 ribu jiwa dengan Garis kemiskinan per kapita Rp 686.469 per bulan dan diikuti Papua Barat, jumlah penduduk miskin 214.980 jiwa, garis kemiskinan per kapita Rp 728.619 per bulan,” kata Filep lagi.

Menjawab persoalan itu, Filep menyampaikan perjuangan pendidikan gratis di tanah Papua berhasil dicapai dan termuat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (UU Otsus) berikut aturan turunannya.

Ketua Tim Perumus UU Otsus jilid II itu lantas menerangkan ketentuan Otsus tentang pendidikan diatur pada Pasal 34 Ayat (3) huruf e angka (2) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2021 (UU Otsus Perubahan) menyebutkan bahwa penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional ditujukan untuk paling sedikit 30 persen untuk belanja pendidikan.

Kemudian, Pasal 36 UU Otsus Perubahan menegaskan juga bahwa penerimaan terkait dana perimbangan dari bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) minyak bumi dan gas alam (sebesar 70 persen) (disebut dengan Dana Bagi Hasil/DBH) dialokasikan sebesar 35% untuk belanja pendidikan.

Lalu aturan turunannya yakni PP Nomor 106 Tahun 2021 dimana Dalam Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 106 Tahun 2021 disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Pemerintah Daerah Praovinsi Papua Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi Kewenangan Khusus dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.

“Dalam bagian Lampiran dari PP ini, ditegaskan bahwa kewenangan Pemerintah Provinsi Papua Barat dalam hal manajemen pendidikan adalah menyediakan pembiayaan pendidikan yang diprioritaskan untuk menjamin setiap OAP agar memperoleh pendidikan mulai PAUD sampai pendidikan tinggi, TANPA DIPUNGUT BIAYA,” tegasnya.

Kemudian, PP Nomor 107 Tahun 2021, Pasal 12 ayat (1) Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai kewenangannya mengalokasikan anggaran pendidikan sampai dengan jenjang pendidikan tinggi.

(2) Pendanaan penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit dibiayai melalui dana Otsus dan Tambahan DBH Migas Otsus.

(3) Pendanaan penyelenggaraan pendidikan melalui dana Otsus dan Tambahan DBH Migas Otsus terantum dalam rincian penggunaan dana DBH Migas Otsus dan Dana Otsus.

“Dalam rangka kepentingan pendidikan pula, penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 9 huruf a PP Nomor 107 Tahun 2021 menyebutkan bahwa penggunaan DBH Migas untuk belanja pendidikan provinsi/kabupaten/kota termasuk bantuan/hibah kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, lembaga keagamaan, LSM, dunia usasha yang memenuhi syarat.

“Di sini termasuk menyediakan fasilitas operasional pendidikan asrama. Hal ini berarti yayasan-yayasan penyelenggara pendidikan, yaitu yayasan yang dikelola OAP, wajib mendapatkan dana hibah atau bantuan,” ujar Filep.

Hal ini, lanjutnya, didukung oleh Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) PP 106 Tahun 2021 di mana disebutkan bahwa pemberian bantuan kepada masyarakat penyelenggara pendidikan memperhatikan status dan domisili penyelenggara pendidikan serta memprioritaskan pengurus dan peserta didik pada masyarakat penyelenggara pendidikan yang mayoritas berasal dari OAP.

Filep mengatakan supaya bisa terlaksana dan terkoordinasi dengan baik, maka perlu Perdasus, Pergub, dan Perbup yang mengatur teknis pelaksanaannya di lapangan.

Dia menekankan harus ada saling sinergi antara Pemprov dan Pemkab untuk mengimplementasikan PP 106/2021 dan PP 107/2021 Untuk pendidikan bertipe asrama, berikan kepercayaan lebih luas kepada OAP.

Untuk pendidikan bertipe yayasan, berikan penguatan pada yayasan-yayasan OAP yang kredibel.

“Dengan kebijakan yang kini mengatur lebih rinci, diharapkan amanat pendidikan gratis ini bisa terwujud sepenuhnya,” kata Filep.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler