jpnn.com, JAKARTA - Komoditas subsektor hortikultura khususnya sayuran dan buah semusim termasuk rentan terdampak perubahan iklim.
Melihat dampak dari Pemanasan Global ini, Kementerian Pertanian, khususnya Direktorat Jenderal Hortikultura telah melakukan berbagai upaya adaptasi dan mitigasi guna meminimalkan dampak perubahan iklim.
BACA JUGA: Stok Pangan Aman, Mentan: Tidak Ada Alasan Harga Beras Naik
Pergeseran waktu musim penghujan dan curah hujan yang fluktuatif bisa menyebabkan pergeseran pola tanam dan panen.
Imbasnya produksi dan pasokan bisa terganggu yang berpotensi melahirkan persoalan sosial ekonomi lebih luas.
BACA JUGA: Kementan Berbagi Pengalaman Penanganan Penyakit Zoonosis
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Prihasto Setyanto menyatakan sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim karena berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi, dan kualitas hasil.
"Beberapa komoditas yang perlu mendapat perhatian contohnya adalah cabai, bawang merah, tomat, bawang putih, melon, semangka dan sebagainya," kata Prihasto.
BACA JUGA: Kementan Pastikan Mi Bakal Diproduksi dengan Bahan Lokal
Menurut Prihasto, salah satu kunci penting keberhasilan adaptasi dan mitigasi iklim adalah rekayasa ketersediaan air.
"Bagaimana mengelola air saat berlimpah atau sebaliknya saat kekurangan air, sangat menentukan keberhasilan budidaya", katanya.
Ditjen Hortikultura telah mengembangkan model irigasi hemat air melalui teknologi sprinkle dan irigasi tetes (drip irrigation).
Embung reservoir juga dibangun di sentra-sentra produksi untuk menampung air di musim penghujan. Saat musim hujan, lahan-lahan kering terlantar didorong untuk dioptimalkan pemanfaatannya.
Lebih jauh, Kementan menganjurkan penggunaan pupuk organik dalam jumlah yang cukup.
Pupuk asal bahan organik terbukti mampu meningkatkan kemampuan tanah mengikat air. Seluruh limbah panen dianjurkan untuk dikembalikan ke tanah sebagai bahan kompos.
"Pemupukan disarankan tepat dosis dan tepat sasaran ke bagian tanaman menggunakan sistem deep placement. Sementara pada model pertanian kota (urban farming), didorong pengembangan biopori untuk meningkatkan penyerapan air," terang Prihasto.
Optimalisasi pemanfaatan lahan penting dalam upaya adaptasi dan mitigasi agar keberlangsungan budidaya pertanian bisa terus dijaga.
Lahan sayuran bisa diintegrasikan dengan tanaman perkebunan bahkan peternakan. Penggunaan mekanisasi pertanian juga bisa menekan praktik pembakaran lahan dan sisa panen.
"Penting juga diperhatikan kaidah konservasi lahan terutama untuk kountur lahan berlereng, bedengan harus dibuat melintang memotong bidang lereng. Masyarakat mengenalnya dengan istilah nyabuk gunung. Jangan sampai dibuat membujur searah lereng. Sebagai penguat konservasi, bisa ditanami dengan tanaman perkebunan seperti kopi," imbuh Prihasto.
Lahan-lahan pekarangan maupun lahan sempit perkotaan bisa dimaksimalkan untuk ditanami sayuran, buah dan tanaman obat.
Masyarakat bisa mengadopsi model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang dikembangkan oleh Litbang Pertanian.
Menyikapi merebaknya hama dan penyakit yang menyerang tanaman hortikuktura saat anomali iklim, Direktorat Jenderal Hortikuktura mendorong pengendalian ramah lingkungan baik secara preventif maupun kuratif.
Wujudnya berupa penggunaan likat kuning, PGPR, sex pheromone, biopestisida dan penanaman jenis refugia seperti bunga kenikir atau bunga matahari.
"Saya harapkan semua pihak lebih peduli dengan isu perubahan iklim ini karena dampaknya terhadap penyediaan pangan kita akan sangat luas", pungkas Prihasto.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Tiga Tahun KPK Kawal Anggaran Kementan
Redaktur & Reporter : Natalia