Jaksa Agung Cita Rasa Politisi

Oleh; Achmad Fauzi*

Minggu, 23 November 2014 – 15:40 WIB

jpnn.com - KEPUTUSAN kontroversial pengangkatan jaksa agung bercita rasa politisi menuai banyak kecaman. Belum reda gelombang kekecewaan atas keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, publik kembali dikagetkan penunjukan H M. Prasetyo sebagai jaksa agung.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem periode 2014–2019 itu resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Andhi Nirwanto. Dia sebelumnya menjadi pelaksana tugas jaksa agung.

BACA JUGA: Shame On You Jokowi

Sebenarnya kecaman atas penunjukan politisi sebagai pemimpin organ negara bukan kali pertama terjadi. Hakim MK dan ketua BPK yang berasal dari politisi juga pernah dikecam. Alasannya, partai politik saat ini kurang begitu meyakinkan, baik dari segi kaderisasi, transparansi pendanaan, maupun perwujudan platformnya.

Kritik tajam pengangkatan jaksa agung bercita rasa politisi setidaknya dipengaruhi beberapa alasan. Pertama, mekanisme perekrutan tidak berjalan transparan dan akuntabel.

BACA JUGA: Krisis Negarawan

Silakan bandingkan dengan etape pemilihan menteri beberapa waktu lalu yang agak terbuka dan menyediakan pilihan beberapa kandidat dalam setiap pos menteri. Ketertutupan penunjukan jaksa agung semacam itu membuka ruang prasangka dan dinamika politik yang tidak sehat. Apalagi, latar belakang Prasetyo sebagai politikus sangat dikhawatirkan memiliki hubungan emosional tinggi dengan partai politik yang sulit dilepaskan.

Di era transparansi dan arus tuntutan reformasi hukum yang semakin kuat, penunjukan jaksa agung yang tertutup itu menjadi antitesis atas semangat suci reformasi. Janji Presiden Joko Widodo ketika berkampanye yang kental nuansa ’’antipolitik’’ mulai perlahan terbantahkan.

BACA JUGA: Prestasi Kaum Neolib

Silakan refleksikan kembali memori ketika Presiden Joko Widodo menjual visi dan misinya di bidang penegakan hukum. Jokowi-JK lugas memaparkan ancaman korupsi politik yang aktornya adalah politisi di parlemen maupun eksekutif. Itu berarti sejak awal telah disadari bahwa aktor politik sangat rawan berurusan dengan hukum. Mengingat, pendanaan partai untuk membayar ongkos politik yang besar sangat tidak transparan.

Selain itu, Jokowi-JK menggulirkan ide pemilihan jaksa agung didasarkan kepada kualitas dan integritas serta menguatkan fungsi koordinasi dan supervisi KPK, polisi, dan jaksa. Jika visi misi tersebut dijadikan batu ujian dalam mengukur ketepatan penunjukan jaksa agung, akan terlihat kontradiktif. Oleh sebab itu, jaksa agung bercita rasa politikus menjadi preseden buruk yang seharusnya tidak terjadi.

Tidak Ketat
Kedua, posisi jaksa agung sangat strategis dalam penegakan hukum. Namun, etape penunjukannya cenderung longgar. Presiden tidak melibatkan KPK dan PPATK untuk mengkaji rekam jejak dan menganalisis perolehan harta kekayaannya.

Padahal, lembaga tersebut bisa memberikan catatan adanya transaksi finansial yang mencurigakan, perolehan harta secara tidak wajar, dan apakah seseorang berindikasi korupsi politik. Namun, sayangnya, fungsi koordinasi tidak dijalankan.

Sikap presiden terlihat berbeda ketika memilih menteri. Berkaca kepada terbentuknya Kabinet Kerja, prosesnya melewati etape krusial dan menentukan masa depan Indonesia. Dalam laboratorium revolusi mental, integritas dan kapabilitas seluruh anggota kabinet diuji dengan melibatkan KPK dan PPATK. Sebuah karsa yang patut diapresiasi karena presiden memilih menteri dengan garansi bebas korupsi.

Meski menjadi hak prerogatif presiden, jika memang jargon memerangi korupsi benar-benar dibumikan dalam proses implementasi konsep nawa cita, semestinya aspek integritas, rekam jejak, dan kekayaan jaksa agung ditelusuri lebih dalam. Dengan begitu, masyarakat memperoleh garansi bahwa jaksa agung terpilih benar-benar memiliki sepak terjang baik, berintegritas, prestasi gemilang, dan mempunyai spirit progresif menakhodai lembaga kejaksaan ke depan.

Perjalanan karir Prasetyo memang pernah menjabat jaksa agung muda bidang pidana umum. Tapi, tidak ada salahnya jika dipelajari secara mendalam gebrakan apa saja yang pernah dilakukan dalam konteks reformasi kejaksaan. Jika memang catatan karirnya tidak ada yang gemilang, bisa dipastikan korps Adhyaksa berjalan di tempat. Ditambah lagi nakhodanya pernah berkecimpung di dunia politik, tentu diperlukan pengawalan ketat agar kerja penegakan hukum tidak melahirkan barter politik.

Tantangan Menganga
Kecaman publik harus dijadikan cambuk bagi jaksa agung untuk membuktikan keseriusan dan independensinya menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan penegakan hukum. Pengalaman karir Prasetyo di kejaksaan agung paling tidak menjadi modal untuk memetakan tantangan yang harus dihadapi pada masa mendatang.

Pertama, reformasi lembaga kejaksaan perlu dimulai dari reformasi sumber daya manusia. Revolusi mental aparat untuk korup dan melanggar etik lainnya penting diprioritaskan. Mentalitas personal antikorupsi dilembagakan agar menjadi budaya birokrasi.

Orang-orang bersih dan memiliki etos kerja tinggi dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk membangun jaringan kesalehan kolektif kelembagaan. Sebaliknya, orang-orang kotor yang memiliki reputasi buruk disingkirkan agar tidak meracuni atmosfer yang dibangun.

Di sinilah nyali jaksa agung diuji untuk tidak sekadar menjalankan tugas memberantas korupsi dan mengusut pelanggaran HAM, tapi juga berani mengamputasi sel-sel jaringan korupsi di lingkup kejaksaan.

Kedua, hingga kini, tunggakan terpidana korupsi yang belum dieksekusi di seluruh Indonesia masih menjadi sorotan masyarakat. Entah karena alasan berstatus buron maupun alasan teknis yang lain. Persoalan itu perlu direspons cepat melalui monitoring dan pengkajian secara cermat. Koruptor telah membuat negara jatuh miskin, jadi jangan buka ruang toleransi.

Selain itu, eksekusi tunggakan uang pengganti koruptor hingga terkatung-katung dan tidak terbuka. Menurut data yang dihimpun ICW dari hasil verifikasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, uang pengganti yang harus dieksekusi sebesar Rp 8,5 triliun dan USD 189,5 juta. Sedangkan yang telah ditagih baru Rp 2,6 triliun.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA No 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi terhadap Hukuman Pembayaran Uang Pengganti. Payung hukum itu semestinya dijadikan cantolan hukum bagi kejaksaan untuk tegas mengeksekusi uang pengganti. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa apabila barang yang dimiliki koruptor tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, harus diajukan gugatan perdata ke pengadilan. Langkah tersebut penting agar kerugian negara gara-gara korupsi segera terpulihkan dan koruptor dibuat tidak berdaya. (***)

*Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara; redaktur Majalah Peradilan Agama

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepalsuan SBY


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler