jpnn.com - SANDIWARA politik kembali dipertontonkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketua umum Partai Demokrat yang juga presiden RI yang sebentar lagi lengser itu adalah aktor utama keberhasilan Koalisi Merah Putih (KMP) mengegolkan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD.
Beberapa jam setelah Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengetukkan palu tanda disahkannya Undang-Undang (UU) Pilkada yang baru, SBY berakting sedih. Dari Washington DC, SBY menyatakan kecewa atas hasil voting DPR kemarin dini hari (26/9). Untuk meyakinkan aktingnya itu, SBY kemudian memerintah Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengusut dalang aksi walkout (WO) Fraksi Partai Demokrat (FPD) saat rapat paripurna.
BACA JUGA: Subsidi BBM dan Kemiskinan
FPD merupakan penentu dalam pengambilan keputusan pada rapat paripurna yang dimulai Kamis siang (25/9) tersebut. Seperti kita saksikan bersama, sebenarnya peluang kemenangan opsi pilkada langsung dengan penambahan sepuluh poin yang diusulkan Demokrat sudah ada di depan mata.
Fraksi PDIP, FPKB, dan Fraksi Partai Hanura sudah menyatakan mendukung opsi itu. Namun anehnya, setelah opsinya mendapat dukungan dan bakal menang, Benny K. Harman yang menjadi juru bicara FPD malah menyatakan bahwa fraksinya netral.
BACA JUGA: Tunggu Apa Lagi, Pak SBY?
Tidak cukup itu, Benny yang memiliki nama tengah Kabur mengatakan bahwa fraksinya kabur alias wo. WO-nya FPD tidak berarti netral. Substansi WO FPD adalah mendukung pilkada melalui DPRD. FPD pasti menyadari, kalau mereka abstain atau WO, pemenangnya adalah opsi pilkada melalui DPRD. Jadi, dalam rapat paripurna DPR tersebut, FPD menjadi ”pahlawan” bagi KMP.
FPD awalnya ingin memecah suara pendukung pilkada langsung dengan mengusulkan opsi ketiga setelah opsi pilkada langsung dan pilkada melalui DPRD. Harapannya, dengan muncul tiga opsi, pemenangnya tetap opsi pilkada melalui DPRD. Namun, ternyata FPDIP, FPKB, dan Fraksi Hanura mendukung opsi FPD.
BACA JUGA: Keinginan Luhur Politisi
Kalau opsi ketiga bisa dipaksakan masuk, tentu mau tidak mau FPD akan memilih opsi yang diusungnya sendiri. Tapi, karena niat FPD sebenarnya adalah mengegolkan pilkada melalui DPRD, mereka memilih WO agar tidak terjebak dalam voting.
Gelagat Demokrat dan SBY mendukung pilkada langsung sebenarnya sudah terlihat sebelum rapat paripurna digelar. Statemen SBY yang mendukung pilkada langsung di YouTube pada pertengahan September 2014 tidak lebih dari sekadar PHP (pemberi harapan palsu). Sama persis ketika SBY menggelar konvensi Partai Demokrat yang kemudian dimenangi Dahlan Iskan. Konvensi itu hanya PHP dan tidak ada artinya karena pemenangnya bukan yang diinginkan SBY. Setelah membuat pernyataan di YouTube, SBY kebanjiran pujian. Semua terbuai silat lidah pencipta lagu Rinduku Padamu itu.
Kalau serius dan benar-benar mendukung pilkada langsung, seharusnya sebagai presiden SBY tinggal memerintah Mendagri Gamawan Fauzi menarik RUU pilkada sebelum masuk ke paripurna DPR. Sebab, RUU tersebut adalah usulan pemerintah. SBY tidak bisa berdalih bahwa sikapnya sebagai ketua umum Demokrat tak dapat disamakan dengan sikapnya sebagai presiden. Sebab, Demokrat adalah pemimpin rezim yang sedang berkuasa.
Dapat disimpulkan, posisi SBY sebenarnya adalah mendukung pilkada melalui DPRD. Namun, agar citranya di akhir jabatan tidak tercoreng, dia berkedok mendukung pilkada langsung. Bisa saja SBY akan kembali berakting dengan tidak menandatangani RUU pilkada. Tapi, itu tidak berarti karena dalam 30 hari, apabila presiden tidak menandatangani, RUU tersebut tetap sah dan berlaku sebagai UU.
Karena itu, sebaiknya pada 22 hari terakhir masa jabatannya, SBY tidak perlu bersandiwara lagi. Sudah cukup selama sepuluh tahun rakyat Indonesia disuguhi drama pencitraan Anda. Sudah cukup wartawan di istana disuapi berita dan adegan setingan.
Situasi ke Depan
Masih ada peluang untuk mengganjal berlakunya UU Pilkada yang baru itu. Sejumlah kepala daerah yang dimotori Wali Kota Bandung Ridwan Kamil sudah berancang-ancang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, seperti yang kerap dikemukakan mantan Ketua MK Mahfud M.D., peninjauan kembali UU Pilkada ke MK akan sia-sia. Sebab, dari kacamata konstitusi, pilkada langsung atau tidak langsung sama-sama konstitusional. MK hanya menguji dari kacamata konstitusi, bukan menguji derajat demokrasi dua sistem pilkada itu.
Peluang yang terbuka adalah menggugat ke MK atas sengketa UU Pilkada dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Di UU MD3, pada kewenangan DPRD provinsi (pasal 317) dan kewenangan DPRD kabupaten/kota (pasal 336) sama sekali tidak tertulis adanya wewenang DPRD memilih kepala daerah.
Dulu UU tersebut disahkan secara terburu-buru karena KMP begitu berfokus pada bab penentuan pimpinan DPR. Karena sesuai dengan UU MD3 DPRD tidak memiliki wewenang untuk memilih kepala daerah, seharusnya UU Pilkada juga tidak bisa dilaksanakan. Kecuali ada tafsir hukum lain yang kemudian menyatakan bahwa dua UU tersebut tidak saling bertabrakan.
Bila skenario itu gagal, artinya rakyat harus menerima kenyataan tidak bisa lagi memilih bupati/wali kota dan gubernurnya secara langsung. Kita harus menerima kenyataan, tidak akan ada calon kepala daerah independen yang terpilih. Kita akan kembali menyaksikan pesta pora anggota DPRD saat pilkada. Kita juga akan menyaksikan para kepala daerah menjadi ”ATM” bagi para legislator.
Selamat datang, New Orde Baru.(***)
*)Wartawan Jawa Pos (tom@jawapos.co.id)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi, Prabowo dan Media
Redaktur : Tim Redaksi