Shame On You Jokowi

Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msi

Kamis, 20 November 2014 – 00:02 WIB
Ilustrasi: Facebook

jpnn.com - PADA Maret 2005 saat harga minyak internasional naik dari USD25 per barel menjadi USD 60 per barel, pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga premium dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter (naik 32 persen) dan solar dari Rp 1.650 menjadi Rp 2.100 per liter (naik 27 persen). Lalu pada 1 Oktober 2005, harga Premium kembali naik dari Rp 2.400 menjadi Rp 4.500 per liter (naik 87 persen) dan harga solar naik dari Rp 2.100 menjadi Rp 4.300 per liter (naik 105 persen).

Mungkin kita masih ingat, sebelum kenaikan itu terjadi, Presiden SBY menyatakan, “I don’t care with my popularity.” Kenaikan BBM ini mendorong saya mencermati harga pokok produksi BBM. Pertanyaan saya kepada teman-teman yang sudah bergelimang pengalaman di dunia bisnis itu adalah, berapa biaya pokok produksi premium ?

BACA JUGA: Krisis Negarawan

Sayangnya, tidak ada yang memberi jawaban yang memuaskan. Maka saya baca ulang APBN dan akhirnya saya menyimpulkan sendiri bahwa harga pasar dari premium adalah besarnya belanja subsidi yang ditetapkan pemerintah dan DPR dalam APBN ditambah dengan harga yang dibayar masyarakat.

Ada lagi metode perhitungan lain. Yakni, harga minyak internasional yang diimpor ditambah USD 12 dikali nilai tukar dibagi konversi barel ke liter. Atau jika diterjemahkan menurut asumsi (target) makro APBNP 2014 adalah USD 105 + USD 8 = USD 113 x 12.000 : 159 sehinga muncul  Rp8.528 per liter yang dibulatkan menjadi Rp8.550 per liter untuk RON 88. Angka itu mendekati dengan perhitungan Pertamina yang menegaskan bahwa harga RON 88 adalah Rp 8.600 per liter sebagai harga pasar.

BACA JUGA: Prestasi Kaum Neolib

Perhitungan ini masih bisa diterima dan juga mendekati persetujuan DPR bahwa alpha untuk Pertamina senilai Rp 746 per liter. Jika nilai tambahnya 10 kali lipat, maka harga jual sebelum pajak penjualan mencapai Rp 7.500 per liter. Kalau ditambah dengan pajak 15 persen, maka harga akhir pemakai atau harga di SPBU mencapai Rp 8.625.

Tetapi jika menggunakan perhitungan jumlah kuota subsidi BBM sebesar 46 juta kilo liter sama dengan Rp 246,5 triliun, maka subsidi per liter menjadi Rp 5.358 per liter yang dibulatkan menjadi Rp5.360 per liter. Harga jual akhirnya menjadi Rp 5.360 ditambah harga yang dibayar masyarakat Rp 6.500 sehingga muncul angka Rp11.860 per liter.

BACA JUGA: Kepalsuan SBY

Di sini masalahnya, bahwa perhitungan subsidi Rp5.360 perliter itu memberi informasi adanya pihak-pihak tertentu yang memperoleh keuntungan luar biasa dari impor minyak mentah dan olahan dan penjualan (ekspor) minyak mentah Indonesia. Kenapa? Karena bagaimana mungkin RON 88 bisa lebih mahal daripada Pertamax 92.

Selain soal intervensi asing atas reformasi sektor energi, alasan inilah yang sebenarnya saya gunakan ketika menjadi pembicara dalam Pansus BBM DPR-RI pada 4 September 2008. Sayangnya, setelah 10 tahun saya mengkiritisi harga pokok produksi itu, pemerintah tetap tidak menjelaskan bagaimana sebenarnya hitung-hitungan RON 88 dan solar.

Kenapa hal ini menjadi penting? Karena amanat UUD 1945 pasal 33 ayat (1,2,3) dan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 15 Januari 2005 tentang pasal 28 UU No.22/2001 bahwa harga migas  ditetapkan Pemerintah. Atas putusan ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak tinggal diam. Terbitlah Perpres 5/2006 yang mengarahkan harga enerji menuju ke harga keekonomian (maksudnya harga pasar).

Lalu, diberlakukan pula UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang juga mengatur harga energi sebagai harga keekonomian. Tidak puas dengan hal itu, diterbitkan pula Kebijakan Energi Nasional berpayung Peraturan Pemerintah yang menyatakan harga energi adalah harga keekonomian.

Lihat, bukan hanya UU bidang politik yang berantakan. UU tentang energi pun berantakan tidak keruan. Maka pada saat Presiden Joko Widodo memutuskan kenaikan harga RON 88 dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 (naik 30,7 persen), saya mencermati berdasarkan kajian-kajian di atas. Dari aspek kenaikan harga, karena tanpa penjelasan harga pokok produksi, menurut saya Kabinet Kerja terlalu percaya diri untuk menunjukkan buruknya akuntabilitas publik. Prinsip good governance tidak terpenuhi.

Selain itu, dibanding dengan situasi kenaikan BBM 2005, 2008 dan penurunan harga 2009, ditambah dengan tidak kompaknya Kemenkeu dengan Pertamina dalam soal harga pokok produksi RON 88, kenaikan BBM 18 November lalu berpotensi mengundang DPR melakukan interpelasi. Itulah sebabnya sejak awal saya menyampaikan, pemerintahan JW-JK harus hati-hati mempertimbangkan kenaikan BBM. Jika argumennya sempitnya ruang fiskal, maka selain beberapa cara harus ditempuh dalam mengoptimalkan pendapatan dan menghemat belanja, saya pun setuju atas kenaikan RON 88 hanya Rp1.000 per liter. Tujuannya, agar JW-JK tidak kehilangan muka secara eksternal dan internal.

Ada hal lain yang patut dipertimbangkan. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin tahun anggaran 2014 yang tersisa 43 hari pada saat kebijakan menaikkan harga BBM bisa memberi ruang fiskal Rp100 T. Dari sudut turunnya harga minyak dunia mencapai USD75 per barel, perhitungan adalah USD 105 dikurangi USD 75 sama dengan USD 30 dikali Rp 2 triliun sehingga APBNP menghemat Rp 60 triliun.

Ini pun masih harus dihitung lagi, berapa sebenarnya harga rata-rata minyak internasional dengan merujuk mid oil plats Singapore (MOPS) sehingga dalam hitungan tahun fiskal berjalan mustahil terdapat selisih lebih mencapai USD30 per barel. Sementara dari kenaikan harga BBM, penghematan mencapai Rp 10,8 triliun dengan merujuk kuota subsidi. Alhasil, jumlah penghematan sekitar Rp 70,8 triliun.

Hitungan ini bisa salah. Tapi logika yang disampaikan Menkeu bahwa hasil penghematan dari kenaikan BBM itu mencapai Rp 100 triliun sulit diterima. Beberapa wartawan yang mengkonfirmasi hitungan itu ke saya menyatakan bahwa bisa jadi hitungan itu “asbun”. Saya tersenyum, karena memang tidak logis.

Argumen itulah yang membuat saya sulit mengerti, kenapa mesti terburu-buru menaikkan harga BBM. Kenapa membuat kebijakan yang memberi kesan delegitimasi DPR di tengah sistem politik sedang amburadul?

Apakah dengan kenaikan harga BBM itu membuat Kabinet Kerja mampu menunjukkan prestasi luar biasa sehingga jejak SBY yang tidak peduli dengan kepopulerannya layak diikuti? Apakah masyarakat memang harus membayar rasa percaya dan harapannya kepada JW-JK melalui kenaikan harga ini?

Kalau alasannya untuk sehatnya APBN, maka kebijakan itu harus ditempuh, apakah dengan begitu APBNP 2014 lantas menjadi sehat? Sementara jika untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, kebijakan ini sama sekali bukan obat mujarab. Lalu, apa yang mau dicapai JW-JK dengan kebijakan ini?

Saya kira lebih karena keberhasilan tipu daya utang luar negeri sehingga kondisi domestik dikurbankan. Jika dugaan ini benar, maka tegaknya konstitusi dan janji Trisakti hanya dalam hitungan empat pekan sejak dilantik telah pergi meninggalkan kenangan kampanye Pilpres 2014, Pidato Ketua Umum PDIP pada Rakernas 19 September 2014 di Semarang dan Pidato Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 20 Oktober 2014.

Semoga Bung Karno tidak nelangsa di alam kubur sana menyaksikan konsep Trisaktinya “diperdagangkan” dan di media sosial bermunculan tagar “ShameOnYouJokowi”.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Subsidi BBM dan Kemiskinan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler