Jaksa Agung Diminta Adil Sikapi BOT Hotel Indonesia Natour

Minggu, 06 Maret 2016 – 15:09 WIB
ILUSTRASI. FOTO: JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Kuasa Hukum PT Grand Indonesia Juniver Girsang mengatakan kerja sama membangun, mengelola dan menyerahkan (built, operate, and transfer/BOT) PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Karena itu, menurut Juniver, tidak patut perjanjian BOT tersebut yang sesungguhnya domain perdata dipidanakan. Kerja sama itu justru menguntungkan negara.

“Kami menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, kami menganggap perkara ini domain perdata yang seharusnya tidak serta-merta menjadi perkara pidana. Ada baiknya Kejagung bersikap adil dan proporsional dalam perkara ini,” kata Juniver, kepada wartawan di Jakarta, Minggu (6/3).

BACA JUGA: Labora Berhasil Lari Jadi Bukti Negara Kalah Lawan Napi

Menurut Juniver, kerja sama BOT itu justru menguntungkan negara. Grand Indonesia telah mengeluarkan total investasi Rp 5,5 triliun dalam proyek ini.

Dia menegaskan, angka ini jauh lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam perjanjian BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT setidaknya Rp 1,2 triliun.

BACA JUGA: Ini Pesan MUI soal Gerhana Matahari

“Negara juga mendapatkan pemasukan dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan dari pendapatan atas sewa yang perhitungannya 10 persen dari total pendapatan Grand Indonesia," ujarnya.

Dia menjelaskan, pada 2004, perjanjian BOT ditandatangani para pihak, usia Hotel Indonesia sudah di atas 30 tahun dan belum direnovasi total. Hal ini menyebabkan daya saingnya semakin rendah. Laba pun rendah dan tidak optimal. Jika dilihat dari sisi kinerja keuangan, selama kurun 1997-2002, Hotel Indonesia-Inna Wisata hanya mendapatkan pemasukan rata-rata Rp 2 miliar setahun.

BACA JUGA: Zulkifli Hasan Berbagi Kiat Jaga Kesehatan

“Sejak dilakukan kerjasama BOT, HIN mendapatkan penerimaan berupa kompensasi BOT sebesar Rp 134 miliar atau rata-rata Rp 10,3 miliar per tahun. Kompensasi ini lebih besar dari nilai manfaat tanah. Apalagi aset atau modal saham HIN tidak dilepaskan dan HIN akan memperoleh kembali obyek BOT pada akhir masa kerja sama dalam kondisi layak operasional," jelasnya.

Patut dicatat, kata dia, Grand Indonesia tidak melakukan penjualan unit Apartemen Kempinski dengan sistem strata-title tetapi menggunakan sistem sewa jangka panjang selama 30 tahun. Pada tahun 2010, Grand Indonesia menyanggupi untuk melaksanakan opsi perpanjangan dengan membayar Rp 400 miliar secara tunai kepada Hotel Indonesia. Angka itu sudah di atas 25 persen dari NJOP tanah tahun 2010 sebesar Rp 385 miliar," kata Juniver, sembari menambahkan opsi perpanjangan itu juga dilakukan berdasarkan perjanjian BOT.

Dengan demikian, Grand Indonesia selaku penerima BOT justru telah bertindak sebagai mitra strategis yang berperan serta dalam pelestarian kawasan Hotel Indonesia sebagai cagar budaya dan Landmark Jakarta.

“Proyek pembangunan dan pengelolaan kawasan ini juga menyerap tenaga kerja mencapai 10 ribu orang," imbuhnya.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jika Germo Punya Senjata Anti Tank, TNI Boleh Digunakan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler