Jamin Investasi, Langkah Pemerintah Sudah Tepat

Rabu, 21 Maret 2018 – 17:40 WIB
Kawasan Industri Batamindo. Foto: batampos/jpg

jpnn.com, JAKARTA - JAKARTA - Cendekiawan muslim Komaruddin Hidyat mengatakan investor tak perlu takut menanamkan modalnya di Indonesia hanya karena munculnya wacana ide khilafah. Sebab, kekhawatiran itu sudah dijawab pemerintah dengan mengambil keputusan yang menjamin iklim usaha secara kondusif.

Keputusan yang dimaksud mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu adalah membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) berpaham radikal, membatalkan ratusan peraturan daerah (perda) yang tak pro-investasi, dan membangun komunikasi secara intensif dengan ormas-ormas Islam moderat.

BACA JUGA: Omzet Pedagang Turun 40 Persen Gara-Gara Isu Telur Palsu

Komaruddin mengatakan, wajar jika ada investor asing khawatir berinvestasi di Indonesia akibat adanya paham radikalisme dan ekstremisme yang dapat mengguncang stabilitas politik dan keamanan.

Akibatnya, investor asing lebih tertarik berinvestasi ke Malaysia atau Vietnam yang iklim investasinya lebih kondusif di satu sisi, dan di sisi lain stabilitas politik dan keamanannya relatif stabil.

BACA JUGA: Kementan dan NU Bersepakat Memberdayakan 91 Juta Umat

“Kekhawatiran itu wajar karena mereka hendak menanamkan modal yang tidak kecil, ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Tapi tak boleh berlebihan, karena langkah pemerintah sudah on the right track,” ungkap Komaruddin saat dihubungi, Selasa (20/3).

“Bayangan mereka, kalau sampai di Indonesia berdiri negara khilafah, maka segala aturan akan dirombak, dan itu ancaman bagi investor,” ujarnya.

BACA JUGA: Kiat SOGO Indonesia Tingkatkan Volume Penjualan

Namun di bawah Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, gerakan-gerakan radikal dan ekstrem serta membubarkan ormas yang mengusung paham negara khilafah dan anti-Pancasila sudah dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif.

“Pemerintah juga menghapus ratusan perda yang tak pro-investasi. Ini harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret supaya tenaga kerja dan biaya produksi di Indonesia lebih kompetitif, sehingga menarik minat investor,” kata Komaruddin.

Dihubungi terpisah, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Nasaruddin Umar berpendapat, tak ada alasan bagi investor, baik domestik maupun asing, untuk mengkhawatirkan stabilitas politik dan keamanan di Indonesia terkait paham radikal.

“Paham khilafah juga tidak laku dan tidak akan laku di Indonesa, meskipun beberapa gelintir itu ada. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu kompak, dan mendukung negara kebangsaan yang berdasarkan Pancasila. Namun, pemerintah juga tak boleh lengah. Sekecil apa pun gerakan dan paham radikal yang tumbuh, harus diantisipasi, jangan sampai membesar,” kata Nasaruddin.

Mantan Wakil Menteri Agama itu mengatakan, pemerintah juga kian intensif membangun dialog dengan ormas-ormas Islam mainstream yang berpaham moderat serta pro-Pancasila, kebinekaan, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, demi mengadang ormas-ormas berpaham radikal.

“Selama NU dan Muhammadiyah berada di garda terdepan dalam menjaga NKRI, dan menebarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam, red), bahu-membahu bersama aparatur negara seperti TNI dan Polri, insya Allah negara ini akan aman,” kata Nasaruddin.

Pada 10 Juli 2017, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2017, sebagai pengganti UU No 17 Tahun 2013, tentang Ormas. DPR RI kemudian mengesahkan Perppu Ormas tersebut menjadi UU pada 24 Oktober 2017.

Dengan Perppu Ormas inilah pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berlanjut pada gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Baik Komaruddin dan Nasaruddin berpendapat bahwa langkah pemerintah tersebut belum cukup karena akar permasalahan munculnya paham radikal ada pada kemiskinan, ketidakadilan ekonomi dan hukum. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Komparasi Toyota Camry dan Honda Accord Model 2018


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler