Jangan Buka Ruang Dialog dan Negosiasi dengan Teroris

Sabtu, 12 Mei 2018 – 02:05 WIB
Komarudin Watubun. Foto: Charlie Lopulua/Indopos/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Anggota Komisi II DPR sekaligus Ketua Dewan Kehormatan DPP PDI Perjuangan Komarudin Watubun

 

BACA JUGA: Penikaman Anggota Brimob Bukti Terorisme Masih Kuat

Negara-negara seakan-akan rapuh mencegah dan mengatasi aksi teror. Riset empiris David C. Rapoport (2004: 47) tentang evolusi terorisme selama 130 tahun terakhir sejak abad 19 di Eropa menemukan empat gelombang terorisme modern sejak 1870-an di Rusia, Balkan dan Asia hingga serangan teror ke WTC dan Pentagon di Amerika Serikat (AS) pada 2001. Rata-rata inovasi pola teror berevolusi sekitar 40 tahun.

Gelombang pertama (anarchist wave) berawal dari lambannya proses demokratisasi Rusia. Gelombang kedua (anticolonial wave) bermula pada 1920-an, ketika faksi garis keras gerakan nasionalis melibatkan taktik teror dalam perjuangannya atau aspirasi nasionalis dengan taktik teror.

BACA JUGA: Kapolri Sebut Rutan Mako Brimob Bukan untuk Napi Teroris

Gelombang ketiga (new left wave) yang masih tersisa di Nepal, Spanyol, Peru dan Kolombia.

Sementara itu, gelombang keempat (religious wave) bermula sejak akhir 1970-an.

BACA JUGA: Ternyata Napi Terorisme di Mako Brimob Belum Tersentuh BNPT

Rusia meletakkan dasar konsep, doktrin, dan taktik teror modern seperti Sergei Nechaev (1971), Nicholas Mozorov (1880), Peter Kroporkin dan Serge Stepniak (1927).

Hal itu bertujuan merapuhkan tata pemerintahan melalui serial aksi teror terhadap

pertemuan-pertemuan masyarakat dan pembunuhan figur-figur pemerintah (Nechaev, 1971).

Instrumennya kadang pamflet dan leaflet untuk memicu polarisasi masyarakat dan

revolusi atau dinamit sebagai senjata yang menciptakan kekerasan, perang dan sanksi (The New York Times, 4 April 1878).

Teror adalah taktik sesuai targetnya yakni anarkhi menuju revolusi dan konteks politik dalam negeri.

Mantan Presiden AS Theodore Roosevelt merilis upaya awal global guna meredam terorisme.

“Anarchy is a crime against the whole human race, and all mankind should band together against the Anarchist,” (Richard B. Jensen, 2001: 19).

Sikap Presiden Roosevelt tersebut direspons oleh pendukung Anarkhis dengan

melahirkan gelombang kedua terorisme modern skala global di Irlandia, Cyprus, Israel atau Palestina, dan Aljazair (Menachem Begin, 1997).

Targetnya antara lain polisi sebagai mata dan telinga pemerintah. Sebab pembunuhan tokoh politik dianggap kontraproduktif seperti pembunuhan Alexander I asal Serbia di Merseilles tahun 1934.

Perampokan bank berkurang karena adanya pasokan dana sporadis.

Gelombang ketiga lahir yang memadukan sentimen nasionalisme dan gerakan radikal seperti American Weather Underground, West Germany Red Army Faction, Italian Reg Brigade, Japanese Red Army, dan French Action Dicrete.

Setelah 1975, PLO mengganti posisi Viet Cong sebagai model gerakan yang didukung oleh Uni Soviet melalui pelatihan dan senjata.

Maka lahir gerakan radikal dari Basque, Armenia, Kurdi, Korsika, dan lain-lain.

Sekitar 700 aksi sandera penerbangan selama tiga dekade gelombang ketiga (Anderson and Stephen Sloan, 1995:136).

Penculikan tokoh politik terjadi pada 73 negara. Misalnya, penculikan Perdana Menteri Aldo Moro oleh Red Brigade di Italia pada 1979.

Tahun 1968-1982, terjadi 409 penculikan dan sekitar 951 penyanderaan di dunia (J Adams, 1986:192)

Gelombang ketiga terorisme modern mulai redup akhir 1980-an karena kerja sama

negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, melakukan pemboman Libya tahun 1986 karena diduga mensponsor terorisme.

Upaya kerja sama kontra-teror mulai dirajut oleh berbagai negara. Embargo ekonomi diterapkan guna menekan negara sponsor terorisme (David C. Rapoport, 2004: 61).

PBB merilis dokumen awal tentang terorisme International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing tahun 1997.

Kemudian serangan teror ke WTC dan Pentagon tahun 2001 menandai lahirnya fase keempat terorisme modern.

Pada era ini, jaringan al-Qaeda mula-mula dijadikan model. Setelah 130 tahun, jaringan al-Qaeda yang tersebar di sekitar 70 negara melahirkan generasi keempat taktik teror awal abad 21 (Rapoport 2004: 66).

Aksi teror belum berakhir pasca Osama bin Laden. Alasannya, struktur organisasinya ketat dan berbasis rekrut SDM lokal (Cronin 2006: 39–46), sekitar 50 persen aliran dananya melalui offshore bank (Tkachuk 2002: 2).

Al-Qaeda juga terlibat dalam jaringan narkotika (Cronin 2006: 45–46), khususnya di Afghanistan (United Nations Office on Drugs and Crime, 2007).

Maka Jean E. Rosenfeld (2010:2) menyimpulkan: In short, terrorism is not new, but recurrent.

Secara umum, ideologi terorisme ‘antinegara’ karena tujuan negara untuk melindungi rakyat.

Namun, terorisme menghalalkan segara cara, bahkan dengan membunuh sehingga ekspresi ideologi ini sama saja dengan 'homo homini lupus' atau manusia saling membunuh satu sama lain.

Jadi,  jangan buka ruang dialog dan negosiasi dengan terorisme. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Duka Jokowi untuk 5 Polisi Korban Kerusuhan Mako Brimob


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler