jpnn.com, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi menilai rencana pengesahan revisi KUHP menjadi produk undang-undang April mendatang, sebuah tindakan yang terburu-buru.
"Tidak ada alasan memaksa mempercepat pengesahan RUU KUHP karena semua jenis kejahatan telah memiliki aturan dan mekanisme hukuman. Kalaupun ada tindakan yang belum diatur, dalam hukum dan pada diri hakim terdapat cara menemukan hukum (rechtvinding)," ujar Hendardi di Jakarta, Senin (12/3).
BACA JUGA: 5 Alasan Gerakan Muslim Cyber Army Harus Ditumpas
Menurut Hendardi, ketergesa-gesaan pengesahan di tengah masih banyaknya kontroversi dalam sejumlah isu pada RUU KUHP, hanya memperkuat dugaan terdapat aneka kepentingan yang diselundupkan.
"Misalnya, soal pasal-pasal kesusilaan sebagai perluasan pasal permukahan (overspel/perzinahan). Negara terlalu jauh bermaksud mengatur wilayah privat warga negara. Pasal-pasal kesusilaan dalam revisi KUHP memperkuat tren puritanisasi dalam politik dan hukum negara," ucapnya.
BACA JUGA: Yakinlah, Muslim Cyber Army Lebih Berbahaya daripada Saracen
Kemudian terkait pasal penodaan agama. Hendardi menyebut, nomenklatur dan term ‘penodaan’, ‘menghina’ atau ‘menodai’ dalam delapan pasal yang diperluas dari Pasal 156 huruf a KUHP, merupakan politik hukum yang mempreservasi problem serius penodaan agama.
"Lalu pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Dua pasal karet mengenai isu tersebut (yaitu Pasal 263 dan 264 RKUHP) merupakan ancaman terhadap demokrasi. Karena berpotensi menyumbat saluran ‘social/people control’ sebagai satu dari dua mekanisme kontrol abuse power dalam demokrasi, di samping mekanisme checks and balances," pungkas Hendardi.(gir/jpnn)
BACA JUGA: Bahas MD3 dan KUHP, Jokowi Undang Pakar Hukum ke Istana
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemuka Agama Diteror, Para Tokoh Desak Pemerintah Bertindak
Redaktur & Reporter : Ken Girsang