jpnn.com - SUDAH banyak tokoh muda dari kalangan sipil dari berbagai bidang yang dikenal publik karena mampu menunjukkan prestasi. Namun, sosok muda dari bidang militer yang moncer bisa jadi belum banyak dikenal. Di antara yang belum banyak itu ada satu nama yang sudah dikenal luas, yakni Mayor (Inf) Agus Harimurti Yudhoyono, yang tak lain putra sulung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Agus yang pada 10 Agustus lalu genap berusia 35 tahun, sudah mengantongi sederet pengakuan atas prestasinya. Yang terakhir adalah penghargaan Nanyang Outstanding Alumni Award dari almamaternya di Singapura, S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (NTU)
BACA JUGA: Anak Itu Bagaikan Kertas Kosong
Itu hanya salah satunya. Saat memungkasi pendidikan di Akmil pada 2000 silam, Agus adalah penerima pedang Tri Sakti Wiratama dan medali Adhi Makayasa, penghargaan yang juga diterima ayahnya saat lulus Akmil pada 1973.
Berbincang serius dengan suami Anisa Larasati Pohan itu pun menyiratkan kedalaman pengetahuan dan referensi. "Saya dipandu untuk rajin membaca," katanya kepada Natalia Laurens dari JPNN dalam sebuah wawancara di ruang tamu Wisma Negara lantai 3 kompleks Istana, baru-baru ini.
BACA JUGA: Tak Iri Teman Dapat Bonus
Tapi tak hanya soal serius yang dibicarakannya. Olahraga dan film adalah kegemaran ayah dari Almira Tunggadewi Yudhoyono itu. "Saya suka NBA," katanya tentang olahraga yang digemarinya.
Dalam wawancara hampir satu jam itu, Agus berbagi cerita mengenai pengalamannya meraih cita-cita, termasuk mimpinya tentang generasi muda Indonesia. Secangkir kopi hitam dan dua staf turut menemani Kasi Ops Brigif Linud 17 Kostrad itu saat diwawancarai JPNN. Berikut kutipannya;
BACA JUGA: Unas Bisa Gantikan SNMPTN
Beberapa waktu lalu Anda mendapat penghargaan dari Nanyang Technology University sebagai alumnus yang berprestasi. Pemikiran apa yang ingin anda tularkan sebagai orang muda?
Pertama-tama saya bersyukur. Artinya diapresiasi oleh sebuah universitas yang kebetulan saya juga pernah menjadi mahasiswanya di sana tahun 2005-2006. Kemudian ternyata tanpa sepengetahuan saya, mereka melakukan semacam nominasi untuk ini. Mereka juga selalu memantau para alumninya di mana pun itu berada. Ada sekitar 180 ribu alumni NTU dan tersebar di 127 negara termasuk di Indonesia, termasuk saya.
Dan dari itu semua mereka melihat. Ternyata apa yang saya lakukan khusus di bidang militer, karena saya perwira di militer, dianggap telah membawa berbagai hal positif. Tidak hanya untuk profesi saya, tidak hanya untuk TNI, tapi juga untuk masyarakat Indonesia dan bahkan di luar Indonesia.
Tapi saya mengatakan kepada mereka (NTU) bahwa saya sebetulnya merepresentasi saja. Itu semua tidak mungkin terjadi tanpa institusi saya, yang membesarkan saya TNI, tanpa seragam yang saya kenakan dan saya mengatakan bahwa ini representasi dalam arti inilah yang dilakukan TNI terutama TNI AD yang setiap saat berusaha untuk menjadi institusi yang lebih professional, institusi yang lebih berarti untuk masyarakat Indonesia. Dan juga lebih berperan untuk perdamaian dunia. Dan itu semua saya dedikasikan untuk itu.
Kalau tadi ditanya apa yang ingin ditularkan setelah mendapat penghargaan ini, saya berharap dan saya ingin berbagi semangat untuk terus melakukan sesuatu yang positif, sesuatu yang baik. Do the best in anything we do tanpa ada harapan-harapan tertentu untuk bisa diapresiasi, dapat penghargaan.
Tapi sekali lagi saya ingin sebarkan virus positif dalam arti, mari apapun yang kita lakukan, sekecil apapun, bernilai baik tentu akan memiliki bakat tersendiri dan positif di tengah masyarakat kita. Dan jangan skeptis, “saya bingung mulai dari mana” karena banyak masalah dari luar yang harus dihadapi, tapi always remember kalau kita punya sebuah komitmen, dedikasi untuk berbuat sesuatu itu baik meskipun kecil, nanti pasti ada nilainya.
Apa yang menginspirasi Anda sehingga memilih bidang militer sejak muda?
Saya terus terang ya, terinspirasi oleh apa yang saya lihat. Yaitu tentu ayah saya sendiri, seorang perwira aktif di militer ketika itu yang memiliki rekam jejak yang sangat baik sebagai seorang perwira dan juga capaian-capaian tersendiri yang cukup fenomenal. Termasuk kakek saya, almarhum Sarwo Edhie Wibowo dan juga keluarga besar saya banyak yang militer, termasuk paman saya Pramono Edhie Wibowo, mereka semua menjadi inspirasi saya. Sejak kecil saya ingin masuk militer sebenarnya, masih SD, karena saya akrab dengan kehidupan militer.
Apalagi karena tinggalnya di barak atau di lingkungan militer begitu, penuh dengan mereka yang selalu menggunakan seragam militer dan saya semakin ingin melanjutkan cita-cita itu. Jadi begitu lulus SMP, saya langsung masuk SMA Taruna Nusantara di Magelang yang juga semi-militer. Pada akhirnya saya menentukan pilihan masuk di akademi militer. Saya berpendapat semua pekerjaan itu baik dan mulia tapi saya memilih militer. Itu semua lahir dari diri saya sendiri. Tidak ada paksaan, tidak ada keinginan dari luar, dan orangtua mendukung.
Sebagai seorang tokoh muda, apa yang Anda lihat dari persoalan pemuda saat ini?
Sebelumnya ini saya tidak bicara permasalahan, tapi saya melihat apa yang baiknya dulu. Yang baiknya adalah pemuda Indonesia secara umum lebih cerdas saat ini, lebih berwawasan. Kita berterimakasih dengan teknologi yang hadir di tengah-tengah kita dengan luar biasa. Teknologi kan sekarang sudah di genggaman tangan kita. Bahkan bukan hanya di genggaman tangan kita, sekarang juga ada smartwatch, selain smartphone. Jadi akhirnya orang kalau dulu berpikir dengan memegang satu buku dia bisa ketahui dunia, karena buku adalah jendela dunia, tapi sekarang dengan gadget kita bukan hanya tahu dunia tapi jagat raya. Semuanya bisa kita ingin ketahui hanya dalam waktu hitungan detik dengan teknologi gadget. Jadi seharusnya generasi berikutnya harus semakin cerdas, semakin pintar dalam arti memiliki wawasan yang luas.
Dulu kita mungkin untuk mengetahui ilmu geografi ya harus lihat buku sekolah dulu, oh ternyata di dunia ada sekian ratus negara, benderanya apa saja, lalu kita harus ke perpustakaan. Itu setelah kita belajar dulu. Harus menghabiskan waktu beberapa lama untuk mendapatkan itu. Sekarang ditanya ibukota negara, sekian detik sudah dapat. Langsung dengan demografi, politik dan militer segala macam. Dapat semua.
Jadi kalau generasi muda ke depan tidak lebih pintar, aneh menurut saya. Tetapi yang saya concern, bukan khawatir ya tapi saya ingin kita semua berpikir bahwa jangan sampai kepintaran itu tidak dibarengi sebuah karakter yang kuat. Karena orang pintar tanpa karakter bisa menjadi monster. Berbahaya. Tapi dengan karakter yang baik meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus digunakan untuk kepentingan yang baik pula.
Dengan bahan yang sama seseorang bisa membuat nuklir untuk senjata pemusnahan massal tapi dengan komposisi yang sedikit berbeda bisa dijadikan tenaga pembangkit listrik. Itu sama bahan dasarnya tapi digunakan oleh aktor yang berbeda otaknya. Satu untuk kebaikan, satu untuk memusnahkan orang. Itu contoh.
Hal lainnya, kita ingin anak muda kita tidak mudah menyerah. Nah kadang-kadang kita makin menjadi generasi yang instan. Maunya serba cepat. Enggak tahan, enggak bisa menunggu sebentar. Contoh kecil kalau Wi-Fi drop saja, aduh..., kita sudah kesal. Itu sekarang menjadi generasi instan. Nah dalam proses perjalanan kita itu butuh step by step. Dalam proses apapun filosofinya sama, tidak ada sesuatu yang berhasil dengan baik jika diselesaikan secara instan. Harus disiapkan, ditempa, di matangkan. Ya itulah filosofi pedang harus ditempa, makin ditempa makin kuat.
Generasi yang instan yang inginnya shortcut, kadang-kadang menjadi generasi yang lemah mentalnya. Dia tidak cukup kuat menghadapi permasalahan ataupun tantangan. Akhirnya the old generation kadang-kadang mengeluh melihat ini. Dulu kita tanpa apa-apa kita siap. Kita dengan segala keterbatasan kita bisa melawan penjajah. Kenapa anak muda sekarang cengeng? Kenapa sedikit-sedikit mengeluh? Kenapa pesimis? Kenapa selalu melihat selalu negatifnya? Nah ini harus ada striking to the balance, jadi pintar boleh tetapi punya karakter yang kuat.
Saat ini banyak perwira TNI muda yang juga pintar, tapi mengapa mereka tidak setenar para dosen atau akademisi muda lainnya?
Saya pikir karena dua hal. Satu karena mereka terikat dengan kedinasan. Kan ada juga yang tidak tinggal di Jakarta, ada juga yang karena tinggal di luar. Kedua, memang karena belum terbiasa, apalagi dengan media. Enggak semua orang mempunyai kesempatan berbicara seperti ini dengan media. Kadang-kadang merasa takut ataupun ragu-ragu dan sungkan. Itu dipahami.
Tetapi sekarang ini sebetulnya secara institusi diberi ruang yang luas pada para perwira dengan siapapun. Artinya mengajak para pakar. Kita membahas strategi dengan mereka yang memiliki intellectual background di bidang pertahanan dan keamanan. Walapun mereka sipil, tapi kita undang untuk mendapatkan masukan. Nah memang ini makin terus dibangun. Memang mungkin belum banyak terlihat tokoh-tokoh muda militer yang bisa mengekspresikan pendapat. Kadang-kadang mungkin takut keliru dengan kebijakan pimpinan.
Yang jelas prinsip saya, ke mana pun saya berbicara di forum-forum itu saya tahu etikanya, kebijakan pimpinan dan institusi. Saya pegang betul. Yang ada hanyalah ingin terus sampaikan pesan-pesan baik dari TNI. Itu tadi sinergi, TNI tidak mungkin sendirian. Kita harus bareng-bareng.
Apakah Anda ingin menyampaikan pemikiran-pemikiran positif ini melalui bidang militer saja, atau suatu saat nanti terbersit untuk disalurkan melalui panggung politik?
Saya terus terang hingga saat ini fokus dengan apa yang saya kerjakan dan saya lakukan, tugas saya di militer. Dan pandangan-pandangan atau gagasan tertentu tentu saya sangat senang apabila saya share di berbagai forum. Tapi forum akademik. Saya juga selama ini mendapatkan undangan untuk berbicara di forum tertentu, di universitas dan gerakan-gerakan kepemudaan. Tapi tidak berbau politik sama sekali, karena saya masih aktif sebagai militer tentu saya ke mana-mana juga menyuarakan kepentingan TNI yang juga salah satu komponen bangsa.
Kita punya kepentingan bahwa TNI tidak bisa melakukan tugasnya sendiri untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan negeri. Tapi harus bersinergi, harus bersama-sama dengan dengan komponen lainnya. Jadi di sela-sela materi presentasi saya maupun sharing saya dengan berbagai kalangan, saya menitipkan pesan itu. Ingat apapun yang kita lakukan sebagai bangsa Indonesia menuju bangsa dan negara yang maju, mustahil akan tercapai jika negaranya tidak aman. Oleh karena itu mari kita yakinkan itu semua bisa terjamin sehingga kita bisa jalankan negara ini dengan baik. TNI tidak bisa bekerja sendiri untuk itu.
Siapa tokoh yang saat mudanya menjadi idola anda?
Tokoh idola, saya mengidolakan ayah saya. Itu yang paling dekat. Artinya saya tahu persis apa yang beliau lakukan sejak muda begitu. Sejak merintis karirnya dari bawah. Apalagi saya mengikuti jalan yang sama seperti beliau di militer. Jadi tentu saya melihat atau mencari tokoh yang paling dekatlah. Jadi itu yang paling bisa saya jadikan referensi yang baik. Saya melihat beliau betul-betul menyiapkan dirinya setiap saat, dalam kondisi apapun. Menyiapkan kapasitas intelektual, beliau suka membaca sejak muda. Sejak berpangkat masih rendah dulu, sering mengajak saya ke toko buku. Itu pasti, di manapun. Dikasih buku, dijelasin juga apa isinya. Saya dipandu untuk rajin membaca.
Beliau selalu mengajari saya untuk tough. Kamu harus tough. Bahwa semakin hari hidup itu tidak makin sederhana. Dulu kita merasa Ebtanas berat yah. Begitu sudah melewatinya, eh ternyata lebih berat juga berikut-berikutnya. Enakan kerja, lho kerja juga punya tantangannya sendiri. Semakin hari hidup kita semakin kompleks. Nah kalau kita tidak tough, kita akan terganggu.
Beliau juga selalu mengajarkan nilai-nilai positif. Dalam arti lihat sisi positifnya. Jangan melihat segala sesuatu itu negatifnya terus. Sehingga itu menanamkan optimisme dalam diri saya agar melihat segala sesuatu itu utuh. Alhamdulilah saya mengikuti apa yang beliau ajarkan dan sedikit demi sedikit apa yang beliau sampaikan tentang nilai-nilai positif itu terbukti.
Nasionalisme pemuda saat ini dianggap memudar, apakah perlu semacam konsensus ulang para pemuda? Misalnya dengan menggelar sumpah pemuda lagi?
Kita bisa melihat nasionalisme dari berbagai sisi. Kita tetap bersikap nasionalisme tapi tidak juga tertutup pada dunia luar. Kita tidak akan berkembang kalau seperti itu. Contohnya dulu kita tahu, terbataslah kita mengetahui brand-brand dari luar, sekarang kita di mana-mana ada Mc. Donald, Starbucks, bahkan di Saudi Arabia yang sangat ortodoks.
Yang enggak boleh itu adalah kita hanya mengagung-agungkan negara lain lalu menganggap negara kita itu salah, rusak, enggak bagus. Itu tidak nasionalis. Yang benar adalah bangga dengan apa yang kita miliki tapi tidak cukup dengan bangga. Harus dikritisi. Ini enggak bener nih, kita tolak. Kalau kita lihat ke luar ternyata ada yang bagus, kita adopsi yang bagus, cocok. Kalau enggak sesuai dengan budaya kita, tidak kita gunakan. Enggak semuanya kita adopsi dari luar karena enggak semua bisa cocok. Kalau kita pikir hanya Indonesia yang benar, kita enggak akan maju, kita enggak akan ke mana-mana.
Kalau dibilang perlukah kita adakan lagi sumpah pemuda, kalau pendapat saya itu sesuatu yang formal. Artinya bukan itu kalau menurut saya. Tapi justru bagaimana melalui edukasi kita, sistem edukasi bisa secara formal maupun nonformal. Baik dari sekolah, guru termasuk dari keluarga, orangtua, tokoh masyarakat dan agama. Jangan juga orangtua masa bodoh. Saking sibuknya menitipkan anaknya pada guru dan sekolah, meyakini bahwa anaknya pasti jadi kalau mereka dibayar mahal, sekolahnya bagus. Belum tentu.
Saya mau anak saya bisa berbahasa Inggris karena bahasa internasional. Dengan bisa bahasa Inggris dia bisa baca 100 buku. Kalau dia tidak bisa, dia hanya bisa menunggu itu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia yang kita enggak tahu kapan. Tapi saya lebih enggak suka dia tidak bisa berbahasa Indonesia. It is our our mother language, jadi dia harus bisa. Kadang-kadang saya bingung, kalau ada yang lebih pintar bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesianya. Gimana orang Indonesia, lahir di Indonesia, sekolah di Indonesia tapi tidak bisa bahasa Indonesia, hanya bahasa Inggris. Lalu apa kelebihannya? Sedangkan orang Barat iri kita bisa menguasai beberapa bahasa. Nah nasionalisme harus ditanamkan dengan cara-cara popular. Konsep kekinian.
Doktrinasi, zaman dulu, mungkin zaman sekarang kurang dapat diterima dengan baik. Dengan cara-cara lain, misalnya mereka sekarang akrab dengan gadget, social media dan gerakan atau acara anak muda. Nah masukkan di situ, jadikan popular. Orang suruh hormat merah putih aja susah banget. Kalau di tentara jelas tiap Senin upacara. Ada di sebuah negara, di setiap tampilan apapun di media ada benderanya dia. Mau di film apapun harus ada bendera. Jadi tanpa didoktrinkan secara khusus orang akan tahu ini adalah bendera yang kita junjung tinggi.
Soal Pancasila, anak muda zaman sekarang belum tentu tahu Pancasila. Tugas kita bagaimana membuat itu menjadi popular. Bagaimana implementasinya, pendidikan harus lebih dengan cara menarik lagi. Cara –caranya bergeser lebih kreatif. Pada dasarnya kita punya rasa nasionalis. Waktu Timnas Garuda Muda melawan Korsel contoh sederhana. Itu segenap bangsa Indonesia merayakan itu, semua warga bangsa berdoa supaya menang.
Anda dikenal suka berolahraga, siapa olahragawan yang anda idolakan?
Saya suka NBA. Saya dulu pemain basket di sekolah sampai dengan Akmil. Tentu ada pemain-pemain NBA yang saya idolakan. Ada beberapa lah. Tapi saya switch sedikit ini dibanding favorit saya, lebih baik kita bicara soal harapan saya terhadap olahraga Indonesia. Dengan olahraga kita bisa berkibar. Bangsa yang maju, indikatornya adalah olahraga yang maju. Kenapa, karena olahraga mengedepankan sportivitas. Sportivitas adalah bagian dari peradaban yang maju. Karena itu tidak hanya menjadi ajang beradu antara dua tim, tapi lebih pada semangat sportivitas ada di situ. Itu juga akan mempengaruhi kehidupan sosial lainnya. Dalam kehidupan berpolitik, dalam ekonomi juga demikian.
Kita ingin, saya ingin betul Indonesia bisa menghasilkan atlet-atlet muda dan tim yang berkelas dunia. Seperti timnas Garuda Muda kemarin. Tentu kita tidak ingin mereka cepat puas sehingga hanya euphoria sesaat. Sayang kalau begitu. Mereka muda-muda punya potenasi yang baik. Mudah-mudahan mereka tetap membawa nama Indonesia. Apapun olahraganya.
Di tengah kesibukan, olahraga apa yang sering dilakukan?
Saya lari. Saya dulu suka basket segala macam tapi kan waktunya enggak ada, harus ada tim, harus ada lapangan khusus. Kalau lari kan di mana aja. Pulang kerja, saya bisa lari. Kalau enggak sempat pagi, sore atau malam. Saya setiap hari di mobil ada sepatu lari, tinggal ganti pakaian sebentar, saya lari. Tergantung waktu yang saya punya. Lari bisa refreshing juga mendapatkan ide. Percaya enggak percaya saya banyak mendapat ide sambil lari. Sambil dengerin musik, lari, dapat aja ide-ide. Langsung saya tulis. Kadang-kadang itu momen yang berharga, jadi saya sangat nikmatin berlari.
Apakah Anda suka film? Film favoritnya apa?
Saya kalau film, senang yang ada nilai-nilai. Karena saya tentara saya senang Black Hawk Down. Saya suka film yang based on true story karena lebih terbayangkan ternyata dulu seperti itu. Terus ada keberhasilan dan ada kegagalan. Because, that’s life. Ada up and down. Kemudian bagaimana menyikapi itu semua. Ada leadership, kesetiakawanan, ada banyak nilainya. Ada soal cinta, bagaimana seorang prajurit harus meninggalkan keluarganya. Saya juga senang lihat film Indonesia.
Kalau pemain film favorit saya suka Tom Hanks. Film barunya, 'Captain Phillips, saya belum nonton itu, katanya bagus banget. Saya juga suka film yang project ke depan. Kita bisa memprediksi masa depan. Film-film science fiction yang masuk akal, itu juga kadang-kadang menginspirasi. Dulu film kartun ada komunikasi pakai jam tangan, sekarang sudah kejadian. Itu karena teknologi sudah luar biasa, dengan itu kita bisa termotivasi.
Anda punya akun twitter pribadi, sering menulis pendapat atau ide di twitter?
Saya enggak terlalu sering karena kesibukan, tetapi saya senang juga kalau bisa, karena lumayan sekarangh follower-nya. Kan bisa untuk menyuarakan ide atau pendapat tertentu tentang hal-hal positif. Tapi tahu sendiri tidak semua ditanggapi secara positif sering dimasalahkan. Yang penting di social media kita berharap kita menambah kawan kan.
Tapi kadang-kadang saya suka sedih melihat fenomena kenapa orang kok bermusuhan di social media. Kita enggak kenal sama orang ini, kita berkawan di twitter tapi tahu-tahu jadi musuh. Lebih baik kan kalau gitu enggak sama sekali. Padahal itu kan untuk connecting people. Menambah kawan harusnya. Tapi kita tahu sekarang social media menjadi alat politik, menjadi alat menggerakkan sesuatu. Social media seperti dua mata pisau. Kalau positif ya positif, kalau digunakan negatif ya bisa menjatuhkkan sebuah bangsa. Jadi harus bijak menggunakan sosial media.
Apa pesan Anda untuk generasi muda Indonesia jelang Hari Sumpah Pemuda?
Kalau boleh berpesan, kita semua harus optimis dengan masa depan Indonesia, bahwa kita bisa menjadi bagian dari kemajuan negeri ini. Optimis. Itu mendasar. Kita harus terus membangun kapasitas diri kita. Isi terus, wawasan dan intelektual kita. Tapi sekali lagi harus berkarakter. Bangun karakter kita dengan baik, jangan cepat putus asa dan lemah, tidak siap menghadapi tantangan ke depan. Ini mungkin terdengar klise, terlalu idealis. Tapi that’s the key to success. Kuncinya itu. Kalau mau sukses ke depan awali dulu dari diri kita. Terakhir, kita harus maju bersama-sama, menjadi kurang berarti kalau tidak ada kerjasama dari semua profesi. Harus terus bersatu sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda untuk satu tujuan bangsa yang maju.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tahun Depan Libas Juara Dunia
Redaktur : Tim Redaksi