jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo mengingatkan, DPR akan menabrak dua undang-undang jika mengambil keputusan Revisi UU Penyiaran di paripurna tanpa terlebih dahulu dilakukan rapat pleno di Baleg.
Firman menjelaskan, pertama yang ditabrak adalah UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3. Selain itu, juga melanggar tata tertib dan peraturan DPR nomor 2 tahun 2014.
BACA JUGA: Siapa Paling Layak Dampingi Prabowo pada Pilpres 2019?
“Kalau ini ditabrak, menjadi preseden kurang baik karena DPR sebagai pembuat UU. Walaupun semua ini proses politik tapi tidak boleh menabrak UU dan peraturan yang dibuat DPR sendiri,” kata Firman di gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/2).
Hal ini membantah pernyataan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto usai pimpinan DPR melakukan pertemuan dengan fraksi-fraksi dalam rangka membahas soal Revisi UU Penyiaran, di gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/1).
BACA JUGA: Ada Hal Janggal di Kepengurusan Baru Golkar
Dalam pertemuan tersebut, Pimpinan DPR mendorong RUU Penyiaran dapat segera diselesaikan.
Bahkan, DPR akan tetap memparipurnakan RUU Penyiaran meski Badan Legislasi tidak melakukan rapat pleno.
BACA JUGA: PKB Targetkan 100 Kursi DPR RI
Menurut Firman, Revisi UU itu masih dibahas di Baleg karena ada sejumlah substansi masalah yang tengah dicarikan jalan keluarnya.
Misalnya, ujar dia, ada keinginan Komisi I DPR menerapkan sistem single mux operator. Menurut Firman, dengan sistem ini operator atau industri penyiaran swasta akan berproses ulang untuk mencari frekuensi, karena ada pembentukan lembaga penyiaran baru oleh pemerintah.
“Yang kami lihat sekarang posisi existing dunia penyiaran itu sudah berjalan, dan mereka itu sudah mendapat frekuensi sesuai prosedur,” jelasnya.
Firman mengakui, memang faktanya ketika masih menggunakan sistem analog terjadi semacam pengelompokan atau penguasaan frekuensi pada perusahaan tertentu.
Namun, kata dia, Baleg sudah secara proaktif mengundang semua stakeholder menentukan pilihan terbaik.
“Supaya frekuensi ini dikuasai oleh negara, tidak ada monopoli di mana pun baik swasta maupun pemerintah nantinya,” katanya.
Selain itu, ujar Firman, Baleg juga mencari solusi agar dunia usaha mendapat suatu kepastian hukum, supaya bisa menjalankan fungsi tugasnya sebagai industi penyiaran yang demokratis.
“Solusinya adalah cari jalan tengah. Karena mereka seperti yang punya empat diserahkan kepada negara tiga, dan (mereka) punya satu frekuensi. Yang punya dua diserahkan negara satu, dan dia hanya mengelola satu,” katanya.
Firman menambahkan, Komisi I DPR juga mengusulkan dalam UU ini agar kalau frekuensi dikembalikan kepada negara keseluruhan tidak terjadi sebuah bentuk monopoli di sektor swasta.
“Tapi, di sisi lain kalau frekuensi ditarik semua ke lembaga penyiaran pemerintah, maka UU ini akan membentuk monopoli yang baru, menggeser monopoli swasta. Ada monopoli baru, yakni di lembaga pemerintah,” katanya.
Karena itu, Firman mengatakan akan menjelaskan kepada pimpinan DPR bahwa ada beberapa UU yang harus diperhatikan.
“Kami minta agar ini bisa ditunda dan tetap dibahas melalui mekanisme Baleg,” jelasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Arief: Orang Akan Selalu Curiga Kalau KPU Tak Transparan
Redaktur & Reporter : Boy