jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas turut menyoroti gagasan perpanjangan periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan cara menunda Pemilu 2024.
Pria yang akrab disapa Buya Anwar itu lantas mengingat gaya kepemimpinan Presiden Kedua RI Soeharto pada masa Orde Baru.
BACA JUGA: Pakar HTN Menduga Usulan Pemilu 2024 Ditunda dari Presiden Jokowi
Anwar menceritakan awalnya di masa Orde Lama, Prokmator RI Bung Karno sangat hebat memimpin Indonesia. Tanpa Bung Karno, Anwar tidak bisa membayangkan bagaimana Indonesia bisa bersatu.
"Kemudian apa yang terjadi, PKI melakukan tindak tidak terpuji dengan membunuh para jenderal sehingga tampillah Soeharto menjadi pemimpin. Padahal Soeharto di kalangan elite waktu itu boleh dikatakan anak bawang alias belum ada apa-apanya," kata Anwar Abbas kepada JPNN.com, Senin (28/2).
BACA JUGA: Rizal Ramli Merespons Usulan Tunda Pemilu 2024, Menohok
Meski diragukan, kata Ketua PP Muhammadiyah itu, Soeharto sukses menurunkan inflasi yang waktu itu sudah sangat tinggi sehingga bisa membuat ekonomi masyarakat makin baik.
Bahkan, Soeharto pernah diberi penghargaan oleh dunia internasional karena berhasil membuat Indonesia berswasembada dalam bidang pangan.
BACA JUGA: Siapa Penentu Pengganti Calon PPPK Mengundurkan Diri & TMS? Oh Ternyata
"Melihat begitu berhasilnya Pak Harto membangun ekonomi lewat kebijakan trickle down effect dan menciptakan stabilitas politik lewat kebijakan security approach-nya, sehingga ketika itu muncul lagi orang yang cemas di mana mereka khawatir akan nasib bangsa ini kalau bangsa ini tidak dipimpin oleh Soeharto," kata Anwar.
Pada saat itu, menurut Anwar, para politisi dan petinggi negeri ini datang membujuk Soeharto agar tetap mau maju dalam Sidang Umum MPR berikutnya. Para politikus dan tokoh saat itu mengeklaim rakyat masih membutuhkan Soeharto.
"Pak Harto waktu itu sudah benar-benar ingin mundur dan sudah ingin beristirahat, tetapi karena rayuan maut serta mulut manis dari mereka-mereka tersebut, akhirnya Pak Harto menyatakan diri bersedia untuk maju lagi sehingga beliau kembali terpilih menjadi presiden untuk kesekian kalinya," kata Anwar.
Selanjutnya, kata Anwar, terjadilah konflik karena kelompok masyarakat sudah bosan dan kecewa serta menginginkan adanya perubahan. Masyarakat turun ke jalan, yang awalnya jumlahnya sedikit, tetapi akhirnya membesar.
Awal-awalnya, kelompok masyarakat turun berdemonstrasi mengkritik pemerintah karena melihat tingginya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan para aparat pemerintah dan kroni-kroninya.
Tidak membutuhkan waktu lama, gerakan dan kelompok yang mendesak perubahan tersebut membesar hingga mampu menduduki Gedung MPR/DPR dan menuntut supaya Soeharto lengser.
"Seperti itu para tokoh yang tadinya membujuk dan memuji-muji Pak Harto tersebut, secara bersama-sama pada balik kanan dan meminta Pak Harto untuk turun dan mundur. Sebenarnya secara teoritis kalau Pak Harto di kala itu tetap ngotot dan memaksakan keinginannya untuk mempertahankan kekuasannya, tentu masih bisa dengan cara memberangus kekuatan-kekuatan yang melawan dirinya dengan mengerahkan polisi dan tentara," kata dia.
Namun, Soeharto akhirnya menyerahkan kekuasaannya kepada BJ Habibie yang berhasil menstabilkan kembali nilai tukar rupiah yang tadinya anjlok luar biasa.
Peristiwa yang yang terjadi di era Soeharto itu mirip dengan fenomena saat ini.
Sejumlah politisi dan tokoh menganggap rakyat masih membutuhkan Presiden Jokowi, padahal yang bersangkutan sudah menyatakan tegas menolak rencana tiga periode atau tambah masa jabatan presiden.
"Untuk itu sebagai rakyat kita semua harus sadar bahwa sejarah itu bisa berulang dan kita tentu saja tidak mau hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi pada bangsa dan orang yang kita cintai," kata Anwar Abbas. (tan/jpnn)
Redaktur : Soetomo
Reporter : Fathan Sinaga